Semakin meningkatnya volume impor baja yang masuk ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) Batam, PT Krakatau Posco meminta pemerintah memperhatikan nasib keberlanjutan industri baja nasional.
Direktur Technology dan Businnes Development Krakatau Posco Gersang Tarigan mengatakan, konsumsi pelat baja untuk galangan kapal di Kawasan Bebas Batam, relatif besar jika dibandingkan galangan kapal di luar Batam.
Menurutnya, permintaan pelat baja di Batam mencapai 400 ribu ton per tahun, tetapi 304 ribu ton atau 76 persen beras dari impor.
Bahkan, kata Gersang, jumlah impor pelat baja di Batam, 68 persennya dipasok dari Ukraina, Singapura, dan China.
Adanya pembebasan bea masuk, termasuk bea masuk antidumping (BMA), bea masuk imbalan (BMI) dan bea masuk pengamanan perdagangan (BMTP) dinilai menjadi akar masalah masuknya impor baja di kawasan FTZ Batam.
Gersang Tarigan berharap pemerintah harus mengenakan bea masuk antidumping terhadap impor pelat baja di FTZ Batam.
“Tiga negara ini melakukan dumping atau menjual di bawah harga normal di pasar domestik negara pengekspor. Ini jelas merugikan industri baja nasional,” ungkap Gersang dalam webinar Dampak Pengesahan no 41 tahun 2021 terhadap industri baja nasional , Jumat (26/2/2021).
Jika praktik tersebut dibiarkan dan tidak dikenakan bea masuk antidumping di FTZ Batam, maka industri baja nasional akan sulit bersaing karena harga yang tidak wajar.
“Industri baja nasional akan merugi, dan kami sangat terdampak. Apalagi Batam merupakan pasar terbesar untuk pelat baja, kalau kami tidak bisa masuk, ya tentu kami mengalami kesulitan yang sangat berat,” paparnya.
Gersang pun meminta pemerintah melakukan pengawasan yang ketat di FTZ dan KEK, agar produk impor di kawasan tersebut tidak keluar atau merembes ke tempat lainnya.
“Jangan begitu masuk bebas bea masuk, tapi ternyata bocor dan masuk ke kawasan non FTZ. Harus ada kontrol yang ketat,” katanya.