Media sosial sudah luar biasa berada di dalam segala lini kehidupan masyarakat. Tantangan utama masyarakat adalah bagaimana menemukan atau menjadikan media sosial itu menjadi sesuatu yang positif. Media sosial Facebook dahulu ditujukan untuk membuat teman-teman jauh bertemu di dalam suatu layar.
Media sosial memang dapat mendekatkan yang jauh tapi sekarang juga dapat menjauhkan yang dekat. Paling menyeramkan media sosial dapat menjadi tempat penyebaran hoaks, penipuan, informasi sesat, cyberbullying, pelecehan seksual dan ujaran kebencian
Wakil Ketua Bidang SDM Komite Organisasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Yani Sanjaya dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (14/6/2021) menjelaskan, hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar tapi dibuat seolah-olah benar. Diambil dari kata yang dulu selalu dipakai oleh para pesulap yakni hocus pocus atau kalau kita mungkin yang biasa dengar adalah abrakadabra. Kata hocus itu artinya mengelabui menipu dan itulah yang menjadi asal kata hoaks.
“Jika Anda menerima pesan broadcast kemudian langsung merasa cemas, takut, resah itu sebenarnya adalah suatu alarm apa yang kita terima itu hoaks,” ungkapnya. Jangan lupa saat menerima informasi berupa berita bukan dalam bentuk tangkapan layar. Sebab, itu sangat rentan untuk diedit.
Yani menyarankan, penerima pesan meminta link berita agar dapat dilihat kebenarannya. Judul bombastis namun sumber berita tidak jelas ditambah narasinya provokatif, hal tersebut sudah merupakan ciri-ciri hoaks.
“Apalagi yang meminta Anda untuk menyebarkan pesan ini kembali atau memviralkan bhkan mengancam kalau tidak disebarkan itu sudah pasti hoaks,” tambah Yani.
Jika seperti itu, memang sebaiknya pesan broadcast itu hanya boleh berhenti sampai di kita. Yang harus dilakukan lagi ialah periksa fakta dengan mengetikan judul bombastis itu di Google atau langsung dni turnbackhoax.id dan chatbox Kalimasada. Ketik saja judulnya jika memang keluar judul itu di berita-berita nasional berarti memang benar. Tetapi kalau tidak ditemukan di mesin pencari itu tanda bahwa itu memang hoaks. Dapat disampaikan kepada pengirim untuk meminta tidak disebarkan kembali kalau perlu meminta dia untuk mengklarifikasi.
Yani dan anggota Mafindo fokus untuk mengedukasi orang tua dan guru. Sebab, sangat menyedihkan karena penyebar hoaks itu banyak dari remaja. Usia 13-18 tentang berkomentar semau mereka.
Pada saat Pilkada atau Pilpres yang lalu banyak yang ditangkap remaja, banyak yang diciduk. Beruntung jika diamankan oleh polisi, mereka akan dibina dipertemukan oleh orangtua. Berbeda jika diciduk oleh organisasi pendukung, anak-anak ini malah disiksa dan diminta surat pernyataan.
“Pekerjaan rumah kita sebagai orang tua bagaimana jika kalau 5 tahun ke depan andai kita menjari orang tua yang gagap teknologi. Tidak bisa untuk mengajarkan kepada mereka tentang bijak media sosial maka kita akan mendapati remaja membahayakan dirinya sendiri,” tuturnya.
Ingatkan, jika ingin membagikan sesuatu di media sosial jangan membuat orang membenci postingan kita. Kita sendiri yang memupuk kebencian itu. Inilah gunanya mempersiapkan masyarakat cakap digital dan mempunyai etika bermedia sosial.
Maka, Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Siberkreasi menggelar acara webinar ini untuk mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif sehingga dapat meningkatkan kemampuan kognitif-nya untuk mengidentifikasi hoaks serta mencegah terpapar dampak negatif penggunaan internet.
Pembicara lain dalam webinar ini ialah Budayawan Bambang Sujono, Ferianto Relawan TIK Kalimantan Barat, Indriyanto Banyumurti, Program Manager ICT Watch Indonesia dan Shinta Nova (Key Opinion Leader).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada tahun 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.