Pemilu tahun 2019 banyak mengajarkan hal lain selain masyarakat berdemokrasi memiliki presidennya sendiri. Bagaimana masyarakat Indonesia di dunia nyata dan maya melawan berita bohong dan menangkis ujaran kebencian.
Masa-masa terberat dimana sesama warga dengan mudahnya saling menebar kebencian. Dedy Helsyanto, Kordinator program Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) bercerita bagaimana dirinya dan teman-teman yang sedang bekerja untuk memeriksa fakta dari berita dan informasi yang beredar pun menjadi sasaran perundungan.
Mafindo tidak memihak, saat sedang melakukan pemeriksaan fakta yang menyerang Pak Jokowi, mereka disebut cebong. Di lain waktu saat akan melakukan pemeriksaan fakta akan informasi terkait Pak Prabowo kami dijuluki kampret.
“Akhirnya kami sering diledek Bongmpret spesies baru atau gabungan dari kedua spesies ini,” ungkapnya saat Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (24/6/2021).
Yang terjadi pada masyarat saat itu ialah bentuk keegoisan kelompok, eksklusivitas dan intoleransi. Sebutan-sebutan yang seolah-olah mereka berbeda satu sama lain. Satu bangsa yang terpecah bahkan kini sebutan itu masih sering dilontarkan walaupun jumlahnya atau presentasinya tidak sebesar pada saat pelaksanaan pemilu.
Mereka hanya melihat dirinya sendiri, tidak dapat melihat orang lain akhirnya melakukan pencemaran nama baik dan melakukan provokasi yang membuat kita terpecah tak terpolarisasi di ruang digital.
“Kelompok yang seperti itu sebenarnya yang menjadi sasaran hoaks, karena selalu mendapatkan informasi yang sama mengenai golongannya,” ujarnya.
Maka, penting bagi mereka untuk mendeteksi hoaks. Literasi digital harus selalu diedukasi untuk mereka atau kelompok serupa yang ada di Indonesia. Di antaranya informasi tersebut menggunakan kata yang janggal dan cenderung provokatif. Bahkan tidak jarang langsung menyulut emosi.
Informasi yang hadir juga memberikan ajakan untuk menyebarkan bahkan menautkan dengan ajaran agama untuk segera disebarluaskan. Untuk informasi dari sumber instansi terkait juga sebaiknya diperiksa ulang.
“Hendaknya masyarakat dapat mencari kejelasan di situs resmi karena sering mereka hanya mencantumkan instansi agar pembaca percaya. Namun biasanya hanya mengutip judul kemudian isi informasi sepotong, susun kalimat tidak benar bahkan tidak masuk akan namun tetap dengan bahasa meyakinkan,” jelasnya.
Sebaiknya, masyarakat mencari kata kunci terkait info yang akan dicari kebenarannya. Melalui Google dengan menuliskan kata kunci tersebut atau di Mafindo turnbackhoax.id atau cek fakta.com.
Sudah menjadi kewajiban warga digital saat mendapat informasi tidak dibagikan ulang. Saring sebelum sharing menjadi tagline yang harus terus diingat. Setelah semua sesuai fakta, masih harus disaring apakah ini informasi penting dan kemudian apakah ini medesak untuk disebarkan. Pemikiran ini menjadi cara jitu untuk tidak membiarkan ruang digital. Kita banjir informasi yang seringkali membuat masyarakat bingung.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (24/6/2021) ini juga menghadirkan I Wayan Karnawa dan Bagus Aristayudha (Relawan TIK Bali), Ni Made Amanda (Japelidi), serta Key Opinion Leader Yohana Djong.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.












