Internet sudah menjadi kebutuhan terlebih saat pandemi. Internet menjadi penghubung saat pembatasan aktivitas masyarakat termasuk dalam urusan pendidikan. Kini satu per satu sekolah mulai mencoba melakukan pembelajaran tatap muka kembali. Sebuah kisah perjalanan dunia pendidikan di Indonesia yang penuh tantangan.
Diceritakan oleh Widianti seorang pendidik bagaimana di awal pandemi, ketika diberlakukan pembatasan aktivitas masyarakat termasuk penutupan sekolah. Pemerintah khususnya Kemendikbud langsung sigap membuat program Rumah TVRI untuk memberi materi pengajaran.
“Diakui pada saat itu guru dan sekolah syok sekaligus bingung dengan pembelajaran jarak jauh sehingga dulu anak-anak diminta untuk menonton TVRI. Waktu acaranya berbeda-beda dari mulai jam 7 itu PAUD, TK, jam 8 kelas 1 SD dan seterusnya. Anak-anak diminta menonton dan menceritakan ulang materi yang diajarkan,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 Kabupaten Bandung, Jawa Barat Senin (6/9/2021).
Semakin lama, guru mulai menemukan cara untuk mengajar dan anak pun juga nyaman dengan sistem belajar di rumah. Maka ketika berangsur-angsur mulai masuk sekolah kebahagiaan itu pun kini terlihat dari para guru, orang tua dan siswa itu sendiri.
Sebab, diyakini Widianti banyak tantangan yang dialami siswa selama belajar online. Seperti anak-anak menjadi sulit berkonsentrasi. Saat anak-anak harus memegang ponsel dan laptop untuk kegiatan yang hiburan dan lainnya tetapi saat ini untuk belajar sehingga anak-anak kerap terbayang game atau video yang kerap mereka lakukan di gawai ini.
Keterbatasan jaringan internet, terjadi di pelosok. Dia merasakan sendiri di Kabupaten Bandung banyak daerah di pelosok masih susah sinyal. Bagi dia wilayah yang sudah tersedia sinyal juga jika sedang mengalami gangguan atau mati listrik berpengaruh. Alhasil terkadang guru tidak melakukan pengajaran sesuai rencana. Mereka hanya memberikan tugas dan memberikan penjelasan di waktu lain atau hanya membagikan link video materi yang dapat disaksikan di YouTube.
“Anak-anak juga menjadi kurang bersemangat. Biasanya mereka di sekolah belajar bersama-sama membuat tidak menjadi jenuh. Namun ketika harus belajar online harus sendiri dapat dibayangkan bagaimana rasanya. Meskipun sudah bertemu dengan teman-teman secara virtual setiap hari tetap saja saat mengerjakan tugas mereka sendiri hanya ditemani orang tua yang terkadang tidak mengerti kemauan mereka. Beberapa murid saya yang rumahnya dekat terkadang bekerja kelompok, saya hanya dapat berpesan untuk mereka tetap memperhatikan protokol kesehatan,” jelasnya.
Tantangan lainnya guru juga menjadi sulit lebih mengenal karakteristik anak, terutama untuk siswa didik baru. Ditambah juga sulit untuk berdiskusi mengenai anak kepada orang tua, memang peran orang tua sangat dibutuhkan untuk dapat mengawasi dan melihat perkembangan belajar anak. Namun tidak semua orang tua yang memiliki waktu untuk ini lebih memperhatikan secara detail.
Namun di balik itu semua, bagi guru-guru ada hikmah sekolah online, Widianti mengaku kini menjadi lebih kreatif dan cakap digital. Pemerintah pun kerap memberikan pelatihan digital juga cara pembelajaran jarak jauh sehingga ilmu mereka bertambah. Penguasaan komunikasi guru juga semakin bertambah karena mereka kini harus mampun membuat anak-anak tidak bosan saat belajar online.
Baginya diharapkan, era new normal yang kemungkinan adanya sekolah hybrid tidak menjadi soal, anak-anak dan guru sudah lebih siap bila memang dalam seminggu belajar di rumah dan di sekolah secara bergantian. Mengkombinasikan pengajaran tatap muka dan online, misalnya di rumah hanya untuk mengerjakan tugas lantas di sekolah saatnya untuk membahas apa yang sudah mereka kerjakan di rumah. Waktunya berdiskusi soal bersama teman-teman saat di sekolah.
Webinar juga menghadirkan pembicara Martin Anugerah (Kreaton Konten dan Director Cameo Project), Tetty kadi (Anggota DPR 2009-2014), Santia Dewi (Owner @limbackstore), dan Gabriela Citra sebagai Key Opinion Leader.