Jika kita diberi pilihan untuk berbahasa dengan baik Saat berinteraksi dengan orang secara langsung saat kita berinteraksi dalam media digital. Dalam sebuah kajian Islam disebut hukum tulisan sebagaimana hukum lisan. Jadi kita ketika kita berbicara sopan santun drama begitu juga dengan ketika kita berada di ruang digital yang komunikasinya menggunakan tulisan atau teks.
Kita diingatkan bisa jadi kita ini adalah harimau. Kita perlu menjaga apa yang kita ketik. Bagi seorang muslim apa yang menjadi rambu-rambu dalam bermedia digital itu termasuk dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 6-13. Disebutkan tentang tabayun atau klarifikasi bahwa setiap berita itu perlu kita cari kebenarannya.
Hanafi Anshori, bidang Kemasjidan Pesantren Persatuan Indonesia Islam 259 Firdaus Pangalengan menjelaskan, dalam surat itu juga menerangkan bahwa kita jangan mudah percaya dengan apapun. Kita dikatakan bisa percaya kepada seseorang itu ketika kita memiliki jaminan jika orang yang menyampaikan informasi itu merupakan orang jujur atau bisa dipercaya.
Dalam etika digital juga kita mengenal kebebasan dalam berekspresi, sebenarnya kebebasan itu tetap saja yang memiliki aturan yang perlu kita taati. Yakni aturan Tuhan dan aturan manusia sebagai kesepakatan kita bersama sebab kita tidak bisa hidup sendiri.
“Jangankan kita bermedia sosial kita makan sesuap nasi saja itu adalah hasil dari banyak orang mulai dari petani, pendistribusian beras hingga sampai hai kita masak menjadi nasi. Maka kita harus meyakini kita hidup berdampingan dengan orang lain bukan hidup sendiri. Jadi kita harus menyadari bahwa kebebasan kita itu tidak dibatasi oleh aturan yang disepakati oleh bersama,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (25/10/2021).
Sementara untuk aturan kebebasan dari Tuhan itu jelas sudah ada aturan untuk para muslim dalam surat Al-Hujurat ayat 6. Setiap berita yang kita terima itu harus diteliti, atau dalam istilah agama tabayyun. Tabayun ini artinya klarifikasi dalam ilmu hadits, ilmu tentang penelitian terhadap perbuatan Nabi Muhammad bahwa kita tidak boleh percaya kepada siapapun.
Kita boleh percaya pada saat sudah ada tanda-tanda kebenaran dari yang disampaikan. Jadi tidak boleh banyak berbaik sangka dengan informasi yang belum jelas kebenarannya. Tapi harus banyak klarifikasi atau mencari tahu fakta yang sebenarnya.
Berikut aturan yang disepakati bersama oleh manusia, pasal-pasal UU ITE. Perlu kita baca bersama mengenai undang-undang tersebut, jangan sampai kita menjadi para pelaku yang yang melanggar aturan itu.
“Jadi untuk para santri di pesantren, dan juga para muslim di Indonesia ibadah itu bukan hanya mempelajari mengenai Alquran saja termasuk juga kita mempelajari aturan-aturan bersama undang-undang di negeri kita ini, itu juga termasuk ibadah.
Termasuk ibadah muamalah atau sosial jangan sampai kita melanggarnya sehingga kita sampai di penjara bertahun-tahun atau didenda ratusan juta Karena kelalaian kita. Maka, aturan bersama ini harus kita pelajari bersama sebagai penyemangat untuk kita bermuamalah,” tuturnya.
Mengenai etika digital yang lain kita perlu menjadi pahlawan untuk melawan ujaran kebencian. Hal inipun digambarkan oleh Alquran bagaimana Allah SWT melarang kita untuk berprasangka buruk pada orang, berkata kasar kepada orang lain, kemudian mengorek-ngorek kesalahan orang lain, mengumbar kesalahan orang lain. Mengenai ujaran kebencian tidak bisa dipisahkan dalam kita beretika digital. Selanjutnya mengenai pelecehan seksual daring.
Bagaimana kita dapat melawan tentang apa yang seharusnya tidak dibagikan di dunia digital? Jadi kita perlu berpikir saat kita mengirimkan video, foto, jangan beranggapan semua itu tidak diperhatikan oleh Allah SWT. Jangan tidak merasa amal kita tidak dicatat oleh malaikat. Jangan dikira malaikat itu tidak bisa mencatat amal kita di ruang digital. Padahal setiap salam sama kita termasuk apa yang kita lakukan di ruang digital dicatat oleh malaikat, itu harus dijadikan sebagai prinsip hidup.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Ridwan Rustandi (Dosen Telkom University), Laura Ajawaila (Psikolog Klinis), Nindy Tri Jayanti (Entrepreneur), dan Aflahandita sebagai Key Opinion Leader.