Kemajuan teknologi bukan hanya memberikan manfaat bagi penggunanya, tetapi juga bagi para pelaku kriminal. Tingkat kejahatan kriminal di Indonesia meningkat. Di antaranya yang paling banyak ialah penyebaran konten provokatif.
“Kalau dikerucutkan lagi, masalah yang terjadi di media sosial itu cyberbullying. Hampir 50 persen pengguna secara sadar atau tidak sadar telah menjadi pelaku atau korban,” ungkap Oktavian Jasmin, COO of Prospero Food dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (03/11/2021).
Ia menjelaskan, terdapat beberapa jenis-jenis cyberbullying. Pertama, Flaming & Trolling yaitu kegiatan yang dilakukan oleh seorang Individu atau sekelompok organisasi yang senang membuat keributan di dunia media sosial, contohnya penyebaran konten provokatif. Kedua, Happy-Slapping yakni pengambilan gambar berupa foto atau video tanpa seizin orang yang bersangkutan. Ketiga, photoshopping atau proses mengubah gambar yang tidak menunjukkan faktanya lagi, jadi berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Keempat, pencurian identitas. Kelima, ancaman fisik, dan keenam yaitu penyebaran rumor.
Penyebaran berita bohong dan hal-hal negatif lainnya di samping cyberbullying banyak terjadi di media sosial. Generasi yang mendominasi ialah millenial dan Gen Z. Kelebihan bermain media sosial ini akan mempengaruhi emosi yang berdampak pada perilaku di dunia nyata.
Menurut Oktavian, hal ini akan mengakibatkan kehidupan dunia nyatanya menjadi kurang produktif dan komunikasi menurun. Supaya tidak mengarah ke yang lebih buruk, kita harus menggunakan etika digital. Oktavian menjelaskan, etika digital ini merupakan batasan-batasan yang dibuat untuk diri kita sendiri. Etika digital mencakup bagaimana cara kita berkomunikasi, berperilaku, memposisikan diri, dan melindungi diri.
“Kita harus punya pola pikir kritis, tahu cara memposisikan diri dan melindungi diri. Kenyamanan yang diberikan internet membuat batasan pada diri seseorang menjadi lebih kendur. Jadi harus diingat bahwa teknologi ada bukan untuk menguasai penggunanya,” tutur Oktavian.
Oleh karena itu, kita harus menerapkan prinsip etika digital dengan berpartisipasi, menjadi masyarakat digital yang dinamis, melindungi dan menghargai data privasi, serta bekerjasama dan berkomunikasi untuk kemajuan lebih baik. Upayakan hindari hoaks dan memeriksa segala jenis informasi di internet, tidak mudah membagikan sesuatu sebelum memverifikasinya terlebih dahulu.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Citra Rosalyn Anwar (Japelidi), Loina Lalolo Krina Perangin-angin (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi SGU), Theo Derick (CEO and Founder of Coffee Meets Stocks), dan Maichel Kainama sebagai Key Opinion Leader.
 
	    	 
    	 
		    











