Pada era digital ini dengan sekali klik, kita dapat melakukan apapun yang kita mau tapi tetap kita harus tetap bertanggung jawab dengan kecakapan digital yang kita punya kita. Walaupun seolah-olah sekarang dunia itu dalam genggaman karena karena kita dengan sangat mudah dapat terkoneksi dengan siapapun. Tetapi ternyata kemudahan-kemudahan itu juga bikin kita jadi candu digital.
Putri Puspita Ayu, dosen Universitas Swadaya Gunung Djati Cirebon menjelaskan ciri-ciri jika seseorang sudah candu digital. Sedang jalan asyik dengan handphone-nya, lagi makan cekrek foto dulu selfie dulu, mau tidur masih megang handphone. Waktu luang yang harusnya misalnya istirahat atau tapi sering kali waktu istirahat, malah kita pakai untuk juga bermain gawai. Saat ke toilet sambil mengurus anak bahkan sambil nyetir pun itu masih ada saja yang bermain gawai.
Kita juga mengetahui ketika kecelakaan Vanessa Angel terjadi, salah satu faktornya karena sang sopir bermain ponsel saat berkendara. Digital itu tadi seperti mata pisau, dia dapat membawa dampak baik tapi juga bisa menjadi dampak buruk ketika sudah menjadi candu digital. Sebenarnya, digitalisasi itu membuat kita lebih baik atau membangun tapi juga bisa membuat kita terdistraksi.
“Jelas kita inginnya digital itu, jangan sampai membuat kita jadi tidak fokus, membuat kita terdistraksi. Salah satu upaya pemerintah, bagaimana membangun satu budaya positif di mana setiap orang perlu punya digital skill lalu digital culture. Bagaimana budayanya nanti juga disampaikan dikenal etika,” jelasnya dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/11/2021).
Jika ingin mengetahui bagaimana untuk mengoperasikan gadget itu pasti semua sudah bisa. Apalagi generasi Z dan Alpha itu sudah jauh lebih pintar. Tetapi ketika belajar tentang digitalisasi, bagaimana kecakapan yang sudah dimiliki itu juga berbudaya dan memiliki nilai-nilai etika.
Maka, budaya digital itu dimana kita dapat membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Jangan sampai terulang lagi tahun 2020, netizen Indonesia itu ternyata menurut Microsoft jadi salah satu netizen yang paling tidak sopan. Saat sedang chat atau berkomentar di media digital tidak sopan, padahal sebetulnya orang Indonesia itu terkenal dengan budaya yang ramah tamah. Terkenal dengan gotong-royong tetapi sangat disayangkan malah dicat menjadi tidak sopan.
Artinya ada budaya-budaya yang terkikis yang dapat mengikis pula pribadi-pribadi masyarakat Indonesia. Mulai dari kita kita yang mulai dari diri sendiri, kita harus bertanggung jawab jangan merasa karena media digital, kita bebas mengatakan apapun, bebas tanpa menyaring itu yang harus dihindari. Karena yang harus kita pahami yakni yang kita hadapi bukan robot, walaupun tidak ketemu orangnya tetapi mereka juga punya perasaan budaya-budaya itu yang harus kita angkat lagi.
“Selain nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya kita juga bisa untuk mengangkat budaya-budaya lokal. Bagaimana budaya-budaya Indonesia itu kita angkat lagi untuk memperkenalkan Indonesia itu negeri yang kaya dengan budaya batiknya. Kalau saya orang Cirebon impiannya membawa empal gentong itu ke kancah yang lebih tinggi gitu,” ujar Putri.
Orang mengenal Bandung dengan angklungnya dan lain-lain artinya selain dengan nilai-nilai budaya itu kita juga bisa membawa kebudayaan milik Indonesia. Pemerintah tidak mampu sendiri membangun budaya digital, butuh upaya butuh dukungan dari semua masyarakat termasuk di antaranya media, pelaku usaha, akademisi, masyarakat dan pemerintah. Pemerintah sudah berupaya untuk membangun budaya digital yang positif, kelima unsur tadi disebut kolaborasi Pentahelix dimana unsur-unsur tersebut membangun budaya positif.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Virginia Aurelia (Entrepreneur), Didin Mitahuddin (Praktisi IT), Gunawan Lamri (Entrepreneur), dan Deya Oktarissa sebagai Key Opinion Leader.












