Dengan penggunaan internet yang sudah dilakukan 80% warga Indonesia, sebanyak orang yang sudah masuk dunia digital. Indonesia menjadi sorotan utama oleh negara-negara lain di dunia khususnya yang terlihat dari kasus-kasus yang terjadi.
Sampai Indonesia dicap di Asia Tenggara netizen yang paling tidak sopan. Apakah benar demikian, padahal masyarakat Indonesia menempati posisi ke-8 warga yang paling ramah menurut survei Expat Insider tahun 2019.
Iwan Ridwan, Co-founder Netizen Beradab sekaligus konsultan Pintu Bahasa menyatakan, jika kita tidak setuju maka harus ada upaya menciptakan perdamaian di dunia maya. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Siberkreasi menunjang hal itu dengan adanya gerakan literasi nasional.
Etika digital berperan penting dalam mengatasi persoalan yang mungkin terjadi. Gesekan-gesekan baik itu internal sesama warga negara ataupun lintas budaya juga lintas negara. Beragam konten negatif yang terus meningkat kejahatan digital, bullying, ujaran kebencian sehingga pengaruhnya bagi kita ini salah satunya terlihat dari reaksi-reaksi yang terus memicu konten negatif.
“Tapi sayang sekali, warganet kita saat diumumkan oleh Microsoft dan beritanya tersebar bukannya merefleksi ataupun muhasabah. Tetapi kita seakan-akan memang ingin membuktikan kita tidak beradab. Netizen malah menyerang akun Instagram Microsoft, itu seakan akan terbukti hasil riset mereka,” ujarnya dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (18/11/2021).
Padahal, sederhananya masyarakat Indonesia hanya perlu mengalihkan kebiasaan hidup sopan kita di dunia ke dunia maya ke dunia digital. Seringkali kita mengatasnamakan nama bangsa dan solidaritas membuat kita malah berperilaku di luar etika. Kasus lain saat tim badminton Indonesia di ajang All England yang diduga dicurangi. Karena membela atlet Indonesia yang terjadi warganet menyerang akun Instagram BWF, asosiasi Badminton di dunia hingga mereka menonaktifkan komentar.
Intinya, memang warganet mengalami kekecewaan yang dituangkan dalam bentuk komentar. Seharusnya diarahkan ke hal yang lebih penting atau buat karya untuk protes. Terhadap kasus yang ada pertanyaan tadi, apakah responsif atau hal lainnya kita tanya ke dalam diri kita sendiri.
“Karena yang menentukan kita mau jadi beradab atau biadab memang diri kita sendiri. Maka penting etika digital secara sederhana digital etik ini menekankan pada norma yang diterapkan dalam penggunaan teknologi. Selama ini kita melakukan norma di kehidupan sosial masyarakat. Maka dalam teknologi juga ada norma adat dikatakan caranya etik. Bagaimana mengatur diri kita memposisikan diri kita sebagai warga negara yang juga terdaftar di dunia digital,” ungkapnya.
Para pengguna digital harus sadar bahwa mereka mewakili diri mereka bukan orang lain. Kemudian harus tahu tujuannya untuk menjaga perasaan dan keselarasan sesama pengguna jaga perasaan orang lain. Sebab dampaknya, bisa jadi kita dilaporkan atas ujaran kebencian ataupun atas pencemaran nama baik yang berujung pada jeruji besi.
Tentu kita tidak mau karena kesalahan jari-jemari kita yang lebih bisa dibuktikan karena ada bukti teks. Dibanding hanya sekadar omongan maka dalam memposting sesuatu yang kita harus punya kesopanan sebab dapat dilihat banyak orang dan akan mencitrakan diri kita.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Indira Wibowo (Public Speaker), Nindy Tri Wijayanti (Entrepreneur), Herman Pasha (Senior Trainer Coach), dan Kevin Joshua sebagai Key Opinion Leader.