Citigroup mulai mengambil langkah mundur dari kebijakan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) dalam proses perekrutannya. Perusahaan perbankan raksasa ini mengumumkan bahwa mereka tidak lagi mengutamakan keberagaman dalam menyeleksi jajaran eksekutif dan pegawai barunya.
Dalam pernyataan yang dikutip dari Reuters pada Senin (24/2), CEO Citigroup, Jane Fraser, menyampaikan bahwa bank tersebut tidak akan lagi menetapkan target representasi keberagaman yang bersifat aspiratif, kecuali jika diharuskan oleh hukum. Keputusan ini menunjukkan perubahan signifikan dalam strategi perekrutan Citigroup dibandingkan kebijakan sebelumnya yang lebih proaktif dalam mendorong keberagaman.
Tak hanya dalam perekrutan, langkah ini juga tercermin dalam perubahan internal perusahaan. Citigroup mengubah nama tim “Diversity, Equity and Inclusion and Talent Management” menjadi “Talent Management and Engagement,” yang menandakan pergeseran fokus dari inisiatif keberagaman ke manajemen bakat secara lebih umum.
Keputusan ini disebut-sebut sebagai respons terhadap perubahan kebijakan bisnis di bawah kepemimpinan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Seperti diketahui, Trump telah melakukan berbagai langkah untuk membongkar program keberagaman, kesetaraan, dan inklusi di pemerintahan federal maupun sektor swasta.
“Kita hidup dalam lingkungan yang berubah dengan cepat. Meski demikian, kami tetap akan mempertimbangkan keberagaman perspektif dalam pengambilan keputusan perekrutan,” ujar Fraser, menegaskan bahwa Citigroup masih mempertimbangkan keberagaman sebagai salah satu faktor, meskipun bukan lagi prioritas utama.
Citigroup bukan satu-satunya bank besar yang mengambil langkah ini. Sebelumnya, Goldman Sachs juga menghentikan kebijakan yang mewajibkan setidaknya dua anggota dewan direksi dari kelompok beragam bagi perusahaan yang ingin go public melalui mereka. Kebijakan tersebut, yang diterapkan selama empat tahun, kini telah dihapuskan.
Langkah Citigroup dan Goldman Sachs ini mengindikasikan adanya perubahan arah dalam dunia korporasi Amerika, terutama di sektor keuangan, yang kini semakin mengutamakan fleksibilitas bisnis dibandingkan dengan kebijakan keberagaman yang lebih ketat.