Suasana ruang diskusi Energy Editor Society (E2S) di Jakarta siang itu penuh dengan gelombang optimisme. Di tengah hiruk-pikuk isu perubahan iklim global, para pelaku industri nikel Indonesia justru sedang bercerita tentang revolusi yang mereka lakukan.
“Kami tidak lagi sekadar mengejar tonase produksi. Kini yang kami ukur adalah berapa hektar lahan yang berhasil kami revegetasi, berapa warga yang mandiri secara ekonomi, dan bagaimana transparansi tata kelola kami,” ujar Dindin Makinudin, Community Affairs General Manager Harita Nickel, membuka diskusi bertajuk Uncovering ESG Transformation in Indonesia’s Nickel Mining Industry (4/7/2025).
Isu keberlanjutan dan tanggung jawab sosial jadi salah satu sorotan utama dalam industri tambang mineral di Indonesia yang kini sedang digenjot untuk mengejar target hilirisasi. Harus diakui para pelaku usaha tambang juga mulai bertransformasi dengan mengedepankan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).
Perusahaan-perusahaan tambang kini tidak hanya fokus pada produksi dan profit, tetapi juga memperhatikan dampak lingkungan, kesejahteraan masyarakat sekitar, dan tata kelola perusahaan yang transparan.
Dindin Makinudin, Community Affairs General Manager Harita Nickel, menyatakan salah satu poin utama dalam kegiatan operasional Harita adalah kinerja ESG perusahaan melalui pengelolaan lingkungan hidup maupun masyarakat. Ia mengungkapkan tren saat ini yang berkembang adalah industri jasa keuangan terutama investor dan bank ingin memastikan bahwa investasi yang mereka tanamkan di perusahaan lebih aman dan memberikan kinerja yang lebih baik.
“ESG kini jadi pertimbangan dalam keputusan berinvestasi,” ungkap Dindin.
Prinsip-prinsip ESG diterapkan Harita secara optimal agar bisa memaksimalkan manfaat dari keberadaan sumber daya alam yang bisa dirasakan masyarakat. Dindin menjelaskan perputaran ekonomi dengan praktik tambang yang sesuai dengan ESG yang dijalankan Harita sangat besar.
Pulau Obi: Laboratorium Hidup Pertambangan Berkelanjutan
Dindin membeberkan transformasi menakjubkan di Pulau Obi, Maluku Utara – lokasi operasi Harita Nickel. Di sana, angka PDRB Halmahera Selatan melonjak 54,59% pasca hilirisasi nikel sejak 2016 (data BPS 2025).
“Setiap bulan, perputaran ekonomi lokal mencapai Rp14 miliar hanya dari logistik karyawan saja – 20.000 karung beras, 22.000 kg ayam potong,” paparnya sambil menunjukkan infografis yang membuat audiens berdecak kagum.
Tapi yang lebih mengesankan adalah model pemberdayaan warga. 729 wirausaha binaan telah lahir, mulai dari supplier sayur hingga jasa transportasi.
“Inilah ekonomi sirkular sebenarnya. Masyarakat bukan lagi penonton, tapi mitra utama, ” komentar Tri Budhi Soesilo dari Universitas Indonesia.
Standar Global vs Realitas Lokal
Diskusi memanas ketika Meidy Katrin Lengkey Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkap tekanan pasar global agar dipenuhi oleh industri di Indonesia. produsen mobil (OEM) mencari pasokan yang bertanggung jawab dengan standar ESG yang kuat. Ini yang memang sedang dikejar oleh para pelaku usaha produsen nikel di tanah air salah satunya Harita Nickel yang saat ini sedang disertifikasi oleh IRMA.
“Kami diskusi dengan Tesla, Mercedes, BMW pangsa pasar dari eropa , market membutuhkan ESG standard. Indonesia bisa saja menyusun standarisasi ESG tapi harus mengacu pada parameter yang sudah ditentukan, ” kata Meidy.
Indonesia bahkan kata Meidy pada dasarnya bisa membuat standar ESG sendiri namun tetap harus sejalan dengan beberapa parameter yang disyaratkan oleh para konsumen nikel dunia yakni manajemen tailing, transparansi, keselamatan dan kesehatan kerja, dekarbonisasi, deforestasi dan keanekaragaman hayati, keterbukaan informasi bagi masyarakat yang terdampak, penegakan hukum.
Nikel di pasaran dunia banyak mendapat perhatian terutama terkait dampak lingkungan. Standarisasi ESG dalam proses penambangan ini menunjukkan bahwa komitmen perusahaan yang menjalankan ESG dalam kegiatan operasinya justru memberikan dampak positif ke lingkungan sekitar.
Tri Budhi Soesilo, Akademisi Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI), menilai pelaku usaha tambang di Indonesia boleh dibilang telah menerapkan ESG cukup baik. Namun yang jadi masalah ada masyarakat yang tidak sabar dengan hasil dari apa yang sudah dilakukan oleh perusahaan untuk bisa beroperasi dengan memperhatikan lingkungan.
Audit IRMA: Ujian Akhir Industri Nikel Nasional
Harita Nickel sendiri saat ini sedang menjalani audit secara sukarela terhadap standar pertambangan global paling ketat di dunia, yakni Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) sebagai lembaga independen ESG dunia.
Harita Nickel menjadi perusahaan pertambangan dan pemrosesan nikel terintegrasi pertama di Indonesia yang berkomitmen untuk diaudit IRMA.
Komitmen untuk menyelaraskan industri nasional dengan standar global tidak hanya memastikan manfaat jangka panjang untuk masyarakat dan lingkungan, namun juga menunjukkan industri nikel nasional selaras dengan standar kepatuhan tertinggi di dunia.
Audit ini telah berlangsung sejak 2023 dan hasilnya akan rampung dalam waktu dekat. SCS Global Services, firma audit independen yang disetujui IRMA, melakukan penilaian, yang mencakup kajian dokumen (tahap 1) yang telah dilakukan sejak Oktober 2024 , diikuti oleh audit lapangan (tahap 2) pada April 2025. Total, ada lebih dari 400 persyaratan standar IRMA yang akan melalui proses audit.
Penilaian dilakukan menggunakan informasi dari berbagai unsur seperti anggota masyarakat sekitar, pejabat publik, perwakilan tenaga kerja, atau pihak berkepentingan lainnya.
Hendra Gunawan, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan posisi Indonesia hingga kini merupakan sebagai pemain utama Nikel dunia karena tercatat 5,3 miliar ton ore cadangannya yang bisa diproduksikan,
serta mencapai 18,5 miliar ton ore sumber daya tersebar utamanya di timur indonesia. “Ini peluang dan tantangan dalam upaya transisi energi,” ujar Hendra.
Hendra menuturkan dalam rangka mendukung transisi energi, konsep pertambangan hijau merupakan suatu keniscayaan yang harus dijalankan sesuai dengan kerangka ESG.
“Sejalan hal tersebut, undang-undang pertambangan beserta peraturan turunnya terus mendukung dan mendorong pertambangan standar ESG sebagai landasan bagi praktik pertambangan hijau,” ungkap Hendra.
Jurnalisme sebagai Jembatan
Di akhir diskusi, Tri Budhi memberikan catatan penting yaitu masalahnya bukan pada komitmen perusahaan, tapi pada komunikasi.
“Masalahnya bukan pada komitmen perusahaan, tapi pada komunikasi. Di sinilah peran jurnalis menjadi jembatan antara tambang dan Masyarakat, ” kata Tri Budhi
Pesan Tri Budhi sejalan dengan semangat kegiatan Harita Nickel Journalism Award 2025.
“Kami ingin cerita nyata ini sampai ke publik – bahwa pertambangan berkelanjutan bukan mimpi, tapi sedang kami wujudkan setiap hari,” Tutup Dindin.
Ketika acara usai, para peserta masih berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Slide presentasi tentang 54,59% pertumbuhan PDRB dan 729 wirausaha binaan masih terpampang di layar – bukti nyata bahwa di balik debu tambang, ada cerita-cerita manusia yang patut dikisahkan.