Pemerintah menjadikan perluasan pasar ekspor sebagai strategi prioritas untuk mengurangi ketergantungan pada pasar utama sekaligus memanfaatkan potensi daya beli di pasar baru. Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri menegaskan, diversifikasi pasar menjadi kunci mencapai target pertumbuhan ekspor 7,1 persen di tengah tantangan global. “Selain mempertahankan akses yang ada, Indonesia terus membuka pasar baru,” ujarnya.
Hingga kini, Indonesia memiliki 21 perjanjian perdagangan — meliputi preferential trade agreement (PTA), free trade agreement (FTA), dan comprehensive economic partnership agreement (CEPA) — dengan 30 negara mitra. Pada 2024, sebanyak 68,05 persen ekspor Indonesia menuju negara-negara mitra tersebut yang mewakili 26,28 persen PDB dunia dan 47,56 persen populasi global.
Roro menyebut, perjanjian perdagangan ini telah membuka akses lebih luas bagi produk unggulan seperti kelapa sawit, tekstil, pakaian jadi, alas kaki, furnitur, perikanan, dan pertanian, termasuk sektor jasa. Ia juga menyoroti capaian penting dalam hubungan dagang dengan Amerika Serikat, yakni penurunan tarif impor produk dari 32 persen menjadi 19 persen. “Tarif impor Indonesia termasuk yang rendah di ASEAN, ini terobosan penting berkat peran Presiden Prabowo,” katanya.
Menurutnya, posisi nonblok yang dipegang Indonesia memungkinkan hubungan baik dengan semua negara, termasuk AS dan Tiongkok. Sikap ini membuka peluang kerja sama lebih luas di berbagai sektor. Hari ini, dijadwalkan penandatanganan Indonesia-Peru CEPA, yang akan menjadi pintu masuk ke pasar Amerika Latin selain Chili.
“Peru punya populasi 34 juta jiwa dengan PDB USD289,2 miliar. Melalui CEPA ini, kelapa sawit, karet, farmasi, makanan olahan, tekstil, dan fesyen Indonesia akan mendapat akses pasar lebih luas,” jelas Roro. Ia juga menekankan pentingnya penyelesaian Indonesia-EU CEPA, yang menjadi instruksi Presiden, mengingat potensi besar Uni Eropa untuk ekspor berbasis green supply chain.
Selain Amerika Latin dan Eropa, pemerintah gencar membidik pasar Afrika, Timur Tengah, dan Eurasia. Di Timur Tengah, Indonesia sedang bernegosiasi dengan Dewan Kerja Sama Negara Arab di Teluk (GCC) dan bersiap mengimplementasikan PTA dengan Iran. Sementara di Eurasia, Indonesia-EAEU FTA memberi preferensi untuk hampir 95 persen impor Uni Ekonomi Eurasia dari Indonesia senilai USD2 miliar. Tahun ini, Indonesia menargetkan penandatanganan CEPA dengan Kanada dan PTA dengan Tunisia.
Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menambahkan, Indonesia perlu memiliki rencana kontingensi komprehensif untuk menghadapi potensi konflik global yang bisa mengganggu perdagangan internasional, rantai pasok, investasi, hingga perlindungan WNI di luar negeri. Situasi di Taiwan, misalnya, berpotensi memicu gangguan distribusi hingga kebutuhan evakuasi.
“Forum ini menjadi sarana untuk merumuskan rencana aksi agar Indonesia mampu merespons krisis secara cepat, tepat, dan terkoordinasi demi menjaga stabilitas ekonomi dan perdagangan nasional,” tutur Havas.