Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Hery Gunardi menilai penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) berdampak positif terhadap biaya dana perbankan, efisiensi, dan ekspansi kredit. “Sepanjang 2025, BI sudah menurunkan 100 bps, sekarang BI rate 5 persen, diikuti suku bunga antarbank yang turun ke 4,68 persen per 20 Agustus 2025,” ujar Hery dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (21/8).
Menurut Hery, kebijakan BI menunjukkan arah pro-growth yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Outlook perbankan pun dinilai membaik, tercermin dari kenaikan dana pihak ketiga (DPK) dan turunnya suku bunga acuan yang memperluas ruang intermediasi perbankan.
Data BRI mencatat, DPK tumbuh 7 persen secara tahunan pada Juli 2025, sementara Loan to Deposit Ratio (LDR) turun ke 86,5 persen. “Rasio alat likuiditas terhadap DPK meningkat 27,1 persen, memperlihatkan kesiapan perbankan memenuhi kebutuhan likuiditas,” jelas Hery.
Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) juga melihat stabilitas rupiah menjadi salah satu alasan BI menurunkan suku bunga. “Rupiah kita cenderung stabil, investor asing mulai masuk,” kata Kepala Bidang Riset dan Kajian Ekonomi Perbanas, Aviliani.
BI melalui Rapat Dewan Gubernur pada 19–20 Agustus 2025 memutuskan memangkas BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 5,00 persen. Suku bunga deposit facility turun ke 4,25 persen, sementara lending facility turun ke 5,75 persen.
Aviliani menambahkan, faktor eksternal juga berperan. “Dengan masa Trump ini ketidakpastian di AS tinggi, dolar gak bakal pulang kampung. Jadi, rupiah stabil, wajar BI menurunkan BI-Rate,” ujarnya.
Ia berharap langkah BI diikuti oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). “Pastinya kita berharap ada penurunan bunga dari sisi LPS karena perbankan mengacu pada itu,” jelas Aviliani.
Di sisi lain, perbankan kini tidak lagi menjadikan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen utama, seiring penurunan volume lelang dari Rp916,97 triliun awal tahun menjadi Rp720,01 triliun per 15 Agustus 2025. Sementara itu, obligasi pemerintah masih menawarkan imbal hasil menarik sekitar 6,3–6,4 persen, yang menjadi alternatif penempatan dana masyarakat di luar perbankan.