Indonesia kini tengah berada di persimpangan berbahaya dalam perjalanan demokrasinya. Kasus tragis yang menimpa Affan, seorang anak muda pengemudi ojek online yang meregang nyawa setelah dilindas kendaraan taktis polisi, menjadi simbol paling nyata dari kegagalan negara dalam melindungi warganya. Aparat yang seharusnya hadir untuk mengayomi dan memberi rasa aman, justru tampil dengan wajah represif yang menebar ketakutan.
Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana cara kepolisian menangani demonstrasi masih sangat kental dengan logika perang. Gas air mata, peluru karet, hingga kendaraan taktis, seakan lebih menjadi pilihan utama ketimbang pendekatan sipil yang menekankan dialog dan perlindungan hak asasi manusia. Situasi kian mengkhawatirkan ketika sejumlah elit negara mulai melontarkan wacana pelibatan TNI dalam urusan sipil, sebuah langkah mundur besar yang bisa meruntuhkan fondasi demokrasi yang selama ini diperjuangkan.
Kami menegaskan, Polri adalah institusi sipil. Membiarkan ia dijalankan dengan watak militeristik hanya akan memperpanjang siklus kekerasan. Reformasi kepolisian yang digaungkan sejak lebih dari dua dekade lalu tampak berjalan di tempat. Setiap pergantian Kapolri kerap hanya sebatas kosmetik, tanpa menyentuh akar persoalan: struktur yang tertutup, budaya represif, dan minimnya akuntabilitas.
Mengganti pimpinan puncak tidak akan membawa perubahan signifikan bila struktur dan kultur di tubuh Polri tetap sama. Yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh dengan kontrol sipil yang kuat, mekanisme akuntabilitas yang transparan, serta pembatasan tegas terhadap pelibatan TNI dalam ranah sipil. Presiden sebagai kepala negara tidak boleh terus berdiam diri. Sikap diam hanya akan dibaca publik sebagai restu terhadap brutalitas aparat.
Lebih jauh, krisis ini bukan hanya soal kepolisian. Ia merupakan cermin kemunduran demokrasi yang lebih luas. Di saat rakyat berjibaku menghadapi harga kebutuhan pokok yang melambung, lapangan kerja yang kian sempit, dan akses pendidikan murah yang semakin sulit, para wakil rakyat justru sibuk mempertontonkan kemewahan. DPR, yang semestinya menjadi corong aspirasi publik, malah kerap memicu kemarahan dengan gaya hidup mewah di tengah penderitaan rakyat.
Tidak berhenti di situ, kontrol terhadap media dan ruang berekspresi semakin terasa mengekang. Rakyat dipaksa hanya mendengar narasi tunggal dari negara, sementara suara-suara kritis dicap sebagai ancaman. Aparat turun ke jalan bukan untuk melindungi, melainkan untuk menebar teror. Semua tanda ini mengindikasikan Indonesia sedang bergerak ke arah otoritarianisme yang dibungkus dengan legalitas hukum.
Gelombang protes yang merebak di berbagai daerah sejatinya lahir dari akar sosial ekonomi yang nyata. Demonstrasi bukanlah letupan tanpa sebab, apalagi sekadar aksi anarkis seperti sering dilabeli penguasa. Ia merupakan jeritan rakyat yang lapar, tersisih, dan muak. Rakyat menuntut keadilan sosial, bukan kekerasan; mereka meminta perlindungan, bukan represi.
Dalam situasi genting ini, Alumni Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika Universitas Negeri Jakarta menyampaikan sikap tegas. Kami menuntut Presiden untuk bertanggung jawab penuh dengan mengadili aparat kepolisian beserta pemberi perintah yang menyebabkan kematian Affan serta tindakan kekerasan terhadap massa aksi. Transparansi menjadi syarat mutlak agar keadilan bisa ditegakkan.
Kami juga menuntut Kapolri untuk mundur, karena kegagalan institusi kepolisian bukan lagi sekadar kesalahan individu, melainkan kegagalan struktural. Namun, lebih dari sekadar pergantian pucuk pimpinan, Polri harus direformasi secara menyeluruh agar tidak lagi menjadi mesin represif yang menebar teror terhadap rakyat.
Selain itu, segala bentuk pelibatan TNI dalam menangani demonstrasi dan urusan sipil harus dihentikan segera. Hal ini bukan hanya soal konstitusi, melainkan prinsip dasar demokrasi dan supremasi sipil. Negara demokratis tidak boleh menormalisasi keterlibatan militer dalam ranah sipil.
Di sisi lain, perilaku anggota DPR yang mempertontonkan kemewahan di tengah penderitaan rakyat tidak boleh lagi dibiarkan. Hukum harus ditegakkan, dan sanksi keras perlu dijatuhkan kepada para wakil rakyat yang berperilaku tidak patut. DPR harus kembali ke fungsinya sebagai perwakilan rakyat, bukan klub elit yang sibuk mempertahankan privilese.
Kami juga mendesak pemerintah segera memenuhi tuntutan rakyat. Krisis lapangan kerja harus diatasi dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. RKUHAP yang bermasalah perlu dibatalkan. RUU Perampasan Aset harus segera disahkan sebagai langkah nyata melawan korupsi. Dan kebijakan pajak yang adil harus ditegakkan agar beban tidak terus ditimpakan kepada masyarakat kelas bawah.
Kami percaya, demokrasi hanya bisa bertahan bila masyarakat sipil bersatu. Rakyat tidak boleh tercerai-berai oleh provokasi atau narasi yang memecah belah. Solidaritas dan narasi tandingan harus menjadi benteng terakhir dalam melawan represi negara.
Jika kekerasan terus dibiarkan, jika supremasi sipil terus dilemahkan, dan jika media terus dibungkam, maka jalan menuju otoritarianisme baru akan terbuka lebar. Itu adalah mimpi buruk bagi bangsa yang pernah begitu bangga menyebut dirinya rumah demokrasi terbesar di Asia Tenggara.
Karena itu, hentikan kekerasan. Tegakkan supremasi sipil. Lakukan reformasi menyeluruh. Bebaskan media dari tekanan dan kontrol negara. Inilah jalan satu-satunya untuk menjaga demokrasi tetap hidup di negeri ini.
Jakarta, 1 September 2025
Alumni Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika, Universitas Negeri Jakarta
Narahubung:
Andre Donas (+62 816-1895-875)
Sahat Farida (+62 813-8130-1315)