Diskusi Meet The Leaders ke-6 menghadirkan Gita Wirjawan sebagai narasumber, dipandu Wijayanto Samirin, dengan tema “What It Takes: Southeast Asia from Periphery to Core of Global Consciousness”. Acara berlangsung di Universitas Paramadina, Kampus Kuningan, Trinity Tower Lt.45, pada Kamis (4/9/2025).
Gita menyoroti lemahnya representasi Asia Tenggara dalam literatur global. Dari 140 juta buku yang terbit di dunia, hanya 0,26 persen yang membahas kawasan ini, meski dihuni lebih dari 700 juta penduduk. “Ini menunjukkan lemahnya kemampuan bercerita, literasi, dan numerasi masyarakat Asia Tenggara,” jelasnya.
Menurutnya, pendidikan menjadi fondasi perubahan. Saat ini, 88 persen kepala keluarga dan 93 persen pemilih Indonesia belum berpendidikan S1. “Investasi besar dalam pendidikan adalah kunci untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan dan politik,” tegas Gita.
Ia menekankan peran guru dalam membentuk imajinasi, ambisi, dan keberuntungan yang lahir dari kerja keras. “Guru adalah modal utama generasi muda untuk melangkah maju,” ujarnya.
Selain pendidikan, Gita menyoroti kesenjangan sosial-ekonomi yang terlihat pada perbedaan kekayaan, pendapatan, peluang, dan pertumbuhan antara kota besar dan daerah kecil. Ia menekankan pentingnya percepatan infrastruktur, terutama sektor energi. Indonesia, kata dia, butuh 400 ribu megawatt listrik untuk modernisasi, namun baru bisa membangun 3.000–5.000 megawatt per tahun.
Dalam perbandingan global, Gita menyinggung capaian Tiongkok. Selama tiga dekade terakhir, GDP per kapita Tiongkok tumbuh 30 kali lipat, sementara Asia Tenggara hanya 2,7 kali. Menurutnya, kesenjangan ini lahir dari keberhasilan Tiongkok mengalokasikan sumber daya pada pendidikan, infrastruktur, tata kelola, daya saing, serta model politik-ekonomi yang memberi ruang independensi kota dalam mendorong pertumbuhan.
Ia menegaskan nasionalisme sejati bukan sekadar identitas, melainkan siapa yang benar-benar menikmati manfaat pembangunan. “Keterbukaan terhadap talenta, imajinasi, ambisi, serta keberuntungan yang dibentuk oleh kerja keras harus menjadi nilai utama generasi muda kita,” ujarnya.
Diskusi ini menegaskan bahwa untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai pusat kesadaran global, kawasan perlu memperkuat literasi, pendidikan, infrastruktur, dan tata kelola, sekaligus menyiapkan generasi muda yang adaptif terhadap perubahan dunia.