Digitalisasi itu penting, semua kehidupan manusia berubah menjadi serba instan, mudah tapi disamping itu sebaiknya masyarakat perlu menjaga identitas dan budaya sebagai warga Indonesia untuk memiliki budaya baik dan menambah nilai sebagai pribadi maupun bangsa dan negara.
Dalam Webinar literasi digital nasional di Kabupaten Tasikmalaya, Kamis (17/6/2021) Taufik Aulia penulis dan Manajer Produk Kompas Gramedia membagikan pandangannya terhadap pengaruh TI dalam budaya masyarakat Indonesia.
Evolusi teknologi informasi mengubah segalanya termasuk kehidupan kita, Teknologi Informasi (TI) berperan sebagai enabler atau kemungkinan untuk melakukan hal baru, peluang dan kesempatan. Accelerator mempercepat proses bisnis, perubahan persebaran informasi dan displacer sebagai pengganti. Sebenarnya ini buruk ada peran peran yang memang tergantikan dengan adanya TI. Misalnya kalau dulu orang biasa mendapat mendapat berita dari koran sekarang dari berita portal. Juga perkerjaan yang sifatnya bisa diotomasi dengan mesin robot, kecerdasan buatan dan sebagainya.
“Sebenarnya TI netral ada poin plus dan minus itu yang harus kita sikapi dengan bijak,” ujarnya.
TI itu hampir mengubah seluruh aspek kehidupan, media dan komunikasi kini ada aplikasi media sosial, perbelanjaan ada e-commerce, logistik dan transportasi ada ojek online, ekspedisi, Google Map atau Waze yang menuntun jalan. Hiburan ada YouTube, Netflix. Bisnis keuangan ada m-banking memudahkan pembayaran, pendidikan ada Ruang Guru, Zenius membantu untuk mendapat akses pendidikan lebih mudah. Pekerjaan dan berjejaring secara profesional ada Linked in, Jobstreet, Ekrut.
Yang berubah lagi juga budaya, dulu masyarakat hidup saling berinteraksi memiliki aktivitasnya sehari-hari dan saling berinteraksi. Itu semua melahirkan gagasan, perilaku dan kebiasaan.
“Ternyata manusia dapat mengubah budaya, muncullah TI dan budaya secara tidak langsung juga bisa mengubah manusia. Karena kemudahan TI juga membuat mau tidak mau perilaku manusia dan kebiasaan manusia juga berubah. Kalau dulu mau tidur langsung tidur sekarang harus cek gawai terlebih dahulu dan banyak perilaku lain,” jelas Taufik.
Jika melihat pengguna internet di Indonesia yang sangat besar, Indonesia adalah pasar potensial dalam hal digitalisasi. Masyarakat Indonesia menjadi target pasar yang sangat luas untuk penjualan apapun seperti pemikiran, nilai dan produk hingga tidak heran banyak investor luar negeri rela menggelontorkan uang yang banyak untuk membangun start-up di Indonesia.
Taufik menegaskan, seharusnya masyarakat harus melek dengan potensi di Indonesia, melek sebagai objek dan subjek. Jangan sampai perilaku kita diubah oleh TI, sebagai subjek kita harus sadar apa yang dapat kita lakukan dengan peluang sebesar ini.
Kenyataan, masyarakat dihadapkan pada benturan budaya dan peradaban, maka solusinya ialah dengan kembali kepada Pancasila sebagai dasar nilai. Gotong royong sebagai budaya asli dan cinta produk dalam negeri. Maka, ketika pertukaran informasi yang masif, nilai budaya dari luar negeri juga masuk sebenarnya tidak cocok dengan moral dan nilai dasar yang kita anut. Seperti seks bebas, kenakalan remaja, radikalisme dan sebagainya.
“Itu yang perlu kita bentengi dengan kembali pada nilai dasar ideologi kita, Pancasila. Jangan sampai kita hilang kepekaan, karena selalu berinteraksi tanpa bertemu di media sosial tidak melihat ekspresi orang. Kita menjadi tidak peka terhadap emosi orang lain. Kita merasa kalau kita berbicara apa saja orang tidak akan tersinggung padahal kan tidak,” jelasnya.
Itu merupakan salah satu dampak yang tidak baik dari media sosial. Warga net Indonesia harus lebih peka untuk mengelola konten yang kita buat untuk tidak menghina orang lain, tidak menyinggung sesama.
TI juga dapat mengubah gaya hidup kalau menjadi konsumtif. Keinginan yang lebih besar dari penghasilan. Akibat media sosial penggunanya selalu mengikuti tren dan muncul rasa gengsi karena melihat kehidupan orang lain di media sosial.
“Hati hati juga dengan tren yang berkembang dan akhirnya kita menjadi FOMO (Fear of Missing Out). Karena tren itu mudah booming dan berkembang sehingga orang jadi FOMO atau rasa takut ketinggalan sesuatu. Ketika kita tidak update sesuatu kita langsung merasa ketinggalan. Padahal perlu kritis terhadap tren, menyadari apakah itu relevan dengan kita,” tuturnya.
Fenomena budaya yang berubah karena TI juga karena kehadiran hoaks di tengah dunia digital. Memperparah dan membuat jelek ranah digital. Informasi yang benar bisa dipelintir sedemikian rupa atau dikarang menjadi sesuatu yang salah atau fitnah. Tentu hal tersebut berdampak buruk untuk banyak hal termasuk persatuan Indonesia.
Membuat masyarakat terpecah juga menghabiskan waktu percuma hanya untuk saling hujat di kolom komentar padahal informasi yang mereka debatkan tidak valid. Makanya dibutuhkan jiwa kritis dalam menerima informasi, saring sebelum sharing dan sikapi perbedaan dengan bijak.
“Kita beda pendapat bukan untuk saling menghujat tapi beda pendapat dapat menjadi ruang untuk memahami,” pungkasnya.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Siberkreasi di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (17/6/2021) ini juga menghadirkan pembicara Astin Meiningaih (Mafindo), Rifky Indrawan (Relawan TIK), Andika Zakiy (Sejiwa), dan Amanda Karina (Key Opinion Leader).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.