Di dunia digital kini seseorang seperti sudah dapat diketahui hanya melalui jejak digital kita berupa postingan di media sosial. Misalnya ada foto makanan yang secara fotografi sangat estetik. Akan ada banyak persepsi dari foto tersebut, pemilik foto seorang chef, fotografer sampai seorang pecinta kuliner. Jadi apapun yang di-posting di media sosial akan ‘dibaca’ oleh para pengguna lain mengenai siapa diri kita.
Selain itu, postingan tentang topik tertentu yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk pola yang memberikan gambaran tipe seperti apakah kita, di mata lingkungan sosial kita.
“Misalnya saya memiliki teman di Facebook selalu berbagi resep masakan. Kita pasti akan paham bahwa dia hobi masak. Kita langsung punya gambaran hobi dia di dapur mencoba resep baru. Itulah pola membentuk gambaran, tipe seperti apa kita di lingkungan sosial kita,” ucap Liliani Wattimena, Brand Communication Strategist dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (30/6/2021).
Salah satu kelemahan warga digital Indonesia ialah berhak melakukan apapun pada media sosialnya. Sebab merasa media sosial itu milik mereka sendiri. Liliani menjelaskan, padahal sejatinya media sosial ialah sebuah sarana untuk menyampaikan pesan kepada lingkungan sosial.
“Jika untuk kita sendiri untuk apa kita tulis di media sosial, dapat menggunakan buku diary. Karena kalau sudah masuk media sosial itu akan dikonsumsi orang lain,” ujarnya.
Dia mengajak untuk membayangkan media sosial sebagai halaman rumah. Meskipun semuanya milik kita, kita tidak bisa melarang orang depan rumah untuk tidak menengok ke halaman kita.
“Kita tidak bisa sembarangan ganti baju di halaman atau mandi di sana. Pasti tidak mungkin padahal kalau ada protes kita bisa bilang ini halaman saya boleh boleh saja saya mandi di sini,” tuturnya.
Jadi, memang ada hal-hal milik pribadi tapi karena dikonsumsi lingkungan sosial kita, teman, kerabat maka harus ada etika di dalamnya. Etika digambarkan seperti lampu merah yang mengatur lalu lintas agar tidak terjadi benturan. Etika dalam bermedia sosial hadir supaya tidak ada benturan.
Ketika kita posting sesuatu yang ada hubungannya dengan masa lalu seseorang yang terlibat adalah orang-orang yang berada dalam postingan tersebut. Apapun yang dibagikan di media sosial akan dilihat dan ditangkap berbeda-beda oleh follower kita.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKomInfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (30/6/2021) ini juga menghadirkan pembicara Rahmat Humala Putera (Relawan TIK Medan), Lisa Adhirianti (Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Bengkulu), Pantri Heriyati (Ketua Bidang Community development IWITA), dan Nattaya Laksita Melati.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.












