Mereka yang termasuk digital imigran atau pendatang di era digital atau yang berusia di atas 40 tahun lebih bukanlah penduduk asli dunia digital. Sehingga memerlukan proses belajar yang sangat keras yang harus dilakukan oleh para generasi baby boomers dan generasi X. Mereka harus belajar bagaimana beradaptasi dengan digitalisasi yang sudah menyeluruh di seluruh aspek kehidupan.
Di era digital ini masyarakat harus perlu waspada, kita bisa lihat bagaimana penggunaan internet begitu masif, semua menggunakan internet. Data menunjukkan sehari-hari rata-rata orang Indonesia mengakses internet hampir 8 jam. Itu tidak termasuk dengan menggunakan ponsel yang ada pesan masuk lalu membalas pesan. Penggunaan media sosial ternyata sudah melewati waktu menonton televisi menurut wearesocial dan HootSuite 2020.
Dari sini juga bisa dilihat media mainstream sudah mulai ditinggalkan, efeknya pasti ketika ada penggunaan sesuatu yang berlebihan maka akan ada dampak. Bagaimana ketika sudah masuk ke dalam dunia digital, kita harus memiliki kompetensi. Jangan tercebur dalam era digital tanpa persiapan apapun.
Seperti, memiliki gadget canggih namun tidak mengetahui manfaat maksimalknya. Lalu apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan melalui gawai tersebut.
Itu berkaitan dengan etika digital, Mulyawan Safwandy Nugraha, dosen dan peneliti di Institut Madani Nusantara Kota Sukabumi menjelaskan, ada indikator dan subindikator bagaimana menerapkan etika di ruang digital. Ini juga dikenal dengan netiquette, tujuannya untuk mengetahui pentingnya penerapan etika dalam berinternet. Jangan sampai banyak etika-etika yang biasa kita terapkan di dunia sehari-hari tidak dilakukan di dalam internet padahal sama saja berhadapan dengan orang lain.
“Contohnya saya rasakan sebagai seorang dosen, bagaimana mahasiswa saya kalau ruang digital sungguh berbeda. Bagaimana seharusnya mereka juga memiliki tata krama, kesopanan di dalam WhatsApp atau inbox di media sosial. Jadi seolah olah mereka tidak mengirim pesan kepada dosennya. Harus dipahami untuk dapat melakukan sopan santun saat berinteraksi di media digital,” jelasnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (04/11/2021).
Netiquette ini juga bertujuan untuk mengetahui ragam standar komunitas yang ada di setiap platform media sosial. Perbedaan ini penting untuk diketahui karena berbeda satu komunitas dengan komunitas lainnya jangan sampai menyamakan seluruhnya kita sangat perlu bijak untuk melihat standar dari komunitas yang kita masuki. Agar tidak menjadi konflik yang membuat suasana di ruang digital menjadi tidak menyenangkan. Salah satu risiko kita berada di ruang digital kita harus siap orang suka ataupun tidak suka kepada kita, kalau tidak komentar memuji ya komentar mem-bully. Persoalan yang sekarang adalah kesiapan mental dalam menghadapi hal tersebut.
Kemudian memahami apa yang sebaiknya diunggah dan tidak ketika menggunakan media sosial dan perangkat digital lainnya. “Ini perlu sama-sama kita renungi misalnya kita tidak bisa membedakan antara bangga dan sombong itu sangat beda tipis. Tergantung niat yang mengunggah dan yang kedua tergantung siapa yang melihat unggahan tersebut. Kalau yang melihat unggahan itu negatif maka itu disebut sombong. Tapi bagi orang yang melihat unggahan secara positif dia akan melihat itu menjadi sebuah motivasi untuk bisa juga menjadi seperti seseorang itu,” jelasnya.
Jadi di ruang ini tergantung siapa yang melihat dan apa yang diunggah serta niat apa ketika ingin mengunggah itu. Makanya hati-hati kalau kita ingin mengunggah. Kita niatkan kembali untuk tujuan apa mengunggah. Pastikan ketika mengunggah sesuatu, luruskan niat jangan pernah memiliki niat untuk sombong ataupun untuk membuat orang lain menjadi merasa terpojok atau yang lainnya.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Virginia Aurelia (Entrepreneur), dr. Frendy Winardi (Founder Royals Rejuvia), Dedy Helsyanto (Koordinator Program Mafindo), dan Marcella Vionita sebagai Key Opinion Leader.
 
	    	 
    	 
		    











