Di dalam kecakapan digital, pengetahuan dasar yang harus dimiliki para pengguna digital yakni mengenai mesin pencarian informasi atau cara penggunaan dan pemindahan data.
Para mahasiswa dan juga pelajar pasti sudah sangat akrab dengan mesin pencari terutama Google untuk di Indonesia yang paling banyak dipakai. Di Google mencari berbagai macam informasi yang ada di kepala kita, dimulai dengan kita mengetik ataupun bisa pakai Google Voice atau suara.
Penggiat Literasi Digital, Astri Dwi Andriani, Dekan Fakultas Komunikasi Universitas Putra Indonesia menjelaskan, di Google, kita dapat mensortir informasi, apakah semua informasi atau berita sajakah atau video atau hanya gambar bahkan peta saja? Selain itu, kita juga bisa atur informasi yang ingin kita dapatkan, sepanjang waktu atau misalkan hanya berita 24 jam saja terakhir atau dalam satu minggu, dalam satu bulan dan lain sebagainya.
Kemudian, khusus bagi yang ingin mencari informasi akademik, Google menyediakan Google Scholar atau Google Cendekia yang dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan tugas, paper untuk bahan ujian, riset dan lainnya. Banjir informasi di era ini dibutuhkan kecakapan untuk dapat memilah informasi apa saja yang benar sesuai fakta atau tidak. Terlebih di saat pandemi semakin banyak infodemi yang datang.
“Infodeni ialah tumpah rumahnya berbagai macam informasi yang kebanyakan tidak benar atau tidak dapat diverifikasi. Misalnya, informasi dari grup-grup WhatsApp atau SMS atau juga portal berita online yang judulnya terlalu berlebihan. Itu patut dicurigai sebagai hoaks,” ungkapnya saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Kamis (18/11/2021).
Badan kesehatan dunia (WHO) juga menyatakan infodemi itu sama bahayanya dengan virus ini karena dapat mempengaruhi kesehatan baik fisik maupun mental. Akibat dari pengambilan keputusan saat menghadapi pandemi. Misalnya seseorang, ketika dia banyak menerima hoaks mengenai Covid-19 akhirnya akan mempengaruhi perilaku kesehatannya, karena dia percaya berita hoaks tersebut akhirnya dia mengabaikan masker. Begitu juga dengan vaksin, hoaks vaksin sangat banyak sehingga banyak yang tidak mau divaksin akhirnya pencapaian herd immunity lambat.
Sama seperti pandemi, infodemi juga ada kliniknya. Astri mengatakan, ada klinik Miss-informasi yang diselenggarakan oleh Mafindo, Ikatan Dokter Indonesia juga jaringan Gusdurian dari Ma’arif Institute membuat kuis klinik informasi kepada 5.000 responden. Mereka ingin tahu bagaimana cara mereka memperlakukan informasi yang ada di internet. Ternyata, hasilnya cukup mengkhawatirkan, 90 persen dari 5.000 responden terinfeksi informasi salah, sisanya tidak terdeteksi berarti aman dan sehat informasi.
Hasilnya 4 dari 10 terdiagnosa gejala ringan, 3 dari 10 diagnosa gejala ringan dan 2 dari 10 terinfeksi parah. Inilah yang terjadi dari pertanyaan yang diajukan mereka menjawab sesuai dengan informasi yang mereka terima.
“Kita ingin diaanggap paling tahu paling hebat sehingga menyebarkan berita paling pertama padahal tidak dicek dahulu. Akhirnya dia jadi mata rantai penyebar berita yang belum jelas kebenarannya atau hoaks,” tuturnya.
Sedangkan, masyarakat juga harus tahu media sosial yang paling sering menyajikan isu hoaks ialah Facebook sampai lebih dari 50 persen paling menguasai segala berita bohong. Kemudian WhatsApp terutama di grup WhatsApp dan broadcast, YouTube dan portal berita online. Berhati-hati kita jika menerima informasi, jika dari media massa online, cari informasi tersebut ke minimal 3 media online.
Bagi pengguna Facebook hati-hati untuk dapat lebih bijak memilah dan memilih informasi jangan sampai kita terpapar hoaks dan menyebarkannya.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Theo Derick (Entrepreneur), Mario Devys (Relawan TIK Indonesia), Gabriella Jacqueline (Brand Activation Lead at Startup Agritech & Entrepreneur), dan Diza Gondo sebagai Key Opinion Leader.