Perkembangan masyarakat dunia semakin dinamis. Selain dari segi kuantitas, perkembangan tersebut juga diiringi tuntutan perbaikan kualitas hidup, termasuk dalam bidang pangan. Tentu tidak mudah untuk memenuhi tuntutan tersebut, apalagi bila hanya mengandalkan metode konvensional. Teknologi sangat diperlukan untuk mendukung perbaikan kualitas hidup manusia. Industri pangan memiliki peranan strategis untuk berinovasi dengan teknologi yang mampu menjawab kebutuhan pangan yang kian kompleks.
Tanggal 16 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia. Peringatan tersebut sudah selayaknya menjadi momentum bagi industri pangan untuk meningkatkan perannya dalam mencukupi kebutuhan pangan umat manusia. Peranan yang diemban tentu semakin besar, sebab bukan lagi dari segi kuantitas, industri pangan juga dituntut untuk menyediakan pangan yang semakin berkualitas dalam arti yang semakin luas. Pangan berkualitas adalah produk yang semakin bergizi, aman, halal, dan ramah lingkungan.
Thomas Maltus (1803) pernah memprediksi, dunia akan mengalami kekurangan sumber daya untuk memproduksi pangan. Sumber daya yang tersedia dianggap sulit mengimbangi pertumbuhan penduduk dunia. Tetapi pada kenyataannya, perkembangan ilmu dan teknologi pangan mampu mematahkan prediksi tersebut (Floros et al, 2010). Gambar 1 menunjukkan bagaimana teknologi meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan dunia.

Gambar 1. Penerapan ilmu dan teknologi pangan meningkatkan produktivitas untuk pemenuhan kebutuhan gizi manusia (Henry 1997 dalam Floros et al, 2010).
Namun demikian, bukan berarti dunia telah “aman” dari “masalah-masalah” pangan. Peningkatan populasi yang semakin tajam menjadi tantangan yang perlu dicari solusinya. Beberapa kasus kurang gizi di dunia masih sering terjadi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Berdasarkan data dalam Gambar tersebut, setidaknya 820 juta atau satu dari sembilan penduduk dunia masih mengalami kelaparan.

Gambar 2. Prevalensi dan jumlah penduduk dunia yang mengalami kurang gizi (FAO, 2019)
Peran penting pengolahan pangan
Salah satu peran penting dalam teknologi dan pengolahan adalah memperpanjang umur simpan produk –selain terkait sensori dan lainnya- sehingga dapat menjangkau daerah distribusi yang lebih luas, serta kerusakan dan kehilangan pangan yang bisa diminimalkan. Data FAO (2012) menunjukkan terjadinya kehilangan yang cukup tinggi, mencapai 45%, pada produk sayur dan buah; 30% pada produk sereal; dan 35% pada produk perikanan. Sebagai contoh pada produk perikanan, 8% ikan yang ditangkap dilempar kembali ke lautan karena mati atau rusak. Angka 35% tersebut sebanding dengan 3 milyar salmon di Atlantik.
Secara total, diperkirakan Penyebab utama kehilangan pangan (food losses) di negara berkembang berada di tingkat awal rantai pangan. Keterbatasan infrastruktur seperti fasilitas pendingin menjadi masalah besar yang perlu segera diatasi. Sementara itu, di negara maju, kehilangan pangan sebagian besar terjadi di bagian akhir rantai distribusi, yakni di tingkat konsumen. Masalah penanganan produk akhir akibat kesalahan komunikasi antar rantai distribusi menjadi pekerjaan rumah tersendiri dalam mengatasi kehilangan pangan di negara-negara maju.
Untuk mengatasi hal tersebut, pengolahan pangan yang baik –diawali dengan Good Agricultural Practices (GAP), dapat menjadi salah satu solusinya. Terdapat beberapa proses pengolahan yang dapat dilakukan untuk menurunkan kehilangan pangan, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pemanasan: teknologi ini menggunakan proses termal untuk mencapai tingkat keawetan tertentu dengan mengurangi jumlah mikroba patogen dan/atau pembusuk, serta menginaktivasi enzim penyebab kerusakan. Beberapa teknik pemanasan yang umum digunakan antara lain sterilisasi, pasteurisasi, dan blanching.

Pendinginan dan pembekuan: metode ini bertujuan untuk melepaskan panas dari produk pangan, sehingga tercapai penuruanan suhu yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba ataupun enzim target. Data dari marketsandmarkets.com (2019) menunjukkan nilai pasar produk beku mencapai sekitar USD 219.9 miliar pada 2018, dan diperkirakan mencapai USD 282.5 milyar pada 2019 (Gambar 3) dengan CAGR 5.1%.
Gambar 3. Perkembangan pasar produk beku (marketsandmarkets.com, 2019)
Fermentasi: penggunaan mikroba seperti bakteri asam laktat, dapat mengubah sifat pangan dari yang mudah rusak (perishable) menjadi lebih tahan (less perishable). Beberapa contoh produk fermentasi antara lain yoghurt, keju, kecap, tempe, dan lainnya.
Modifikasi asam: Setiap mikroba memiliki pH optimal untuk tumbuh. Oleh sebab itu, untuk memperpanjang umur simpan produk, industri dapat meningkatkan tingkat keasaman untuk menghambat pertumbuhan mikroba.
Modifikasi aktivitas air (water activity): Kondisi lingkungan lain yang bisa dimodifikasi untuk menghambat pertumbuhan mikroba adalah dengan menurunkan nilai aktivitas air (aw). Terdapat beberapa metode yang bisa digunakan, diantaranya melalui pengeringan dan penambahan ingridien (seperti gula dan garam)
Teknologi-teknologi tersebut dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi (hurdle). Misalnya saja dalam pengolahan yoghurt, selain menggunakan teknologi fermentasi, upaya memperpanjang umur simpan juga dikommbinasikan dengan meningkatkan pH (menurunkan tingkat keasaman) dan juga menggunakan suhu dingin untuk penyimpanannya.
Teknologi baru
Seiring dengan permintaan konsumen yang semakin tinggi, berbagai inovasi terkait teknologi juga terus dilakukan. Teknologi non termal merupakan salah satu tren yang kini menjadi perhatian banyak pihak. Konsumen menghendaki produk dengan tingkat keawetan tinggi tanpa menggunakan proses yang melibatkan panas terlalu tinggi. Marketsandmarkets.com (2018) menyebutkan terjadi peningkatan permintaan terhadap teknologi non termal (Gambar 4). Beberapa faktor yang mendorong peningkatan tersebut antara lain tuntutan akan teknologi yang lebih efisien dalam penggunaan energi dan ramah lingkungan, serta permintaan terhadap produk dengan nilai gizi “alami” yang lebih baik.

Gambar 4. Perkembangan permintaan terhadap teknologi non termal (marketsandmarkets.com, 2018)
Beberapa teknologi non termal yang saat ini dikembangkan antara lain
High pressure processing (HPP): proses ini disebut juga sebagai high hydrostatic pressure (UHP) processing. Prinsipnya adalah penggunaan tekanan tinggi selama beberapa waktu untuk menginaktivasi mikroba ataupun enzim. Gambar 5 menunjukkan perkembangan signifikan penggunaan HPP dalam industri pangan.

Gambar 5. Peningkatan penggunaan HPP dalam industri pangan sejak 1995 (Martin, 2016)
Pulse Electric Fields (PEF): Salah satu teknologi non termal dengan menggunakan tegangan listrik yang sangat tinggi. PEF telah diujicobakan pada minuman jus buah dan beberapa produk cair lainnya. Namun demikian, pengembangan lebih lanjut masih perlu dilakukan, termasuk efektifitasnya dalam membunuh mikroba patogen.
Ohmic heating: Dikenal juga dengan electrical resistance heating, joule heating, atau electroheating. Pada prinsipnya, teknologi ini melewatkan produk pangan pada elektroda bermuatan sehingga dihasilkan energi listrik yang dapat digunakan untuk inaktivasi mikroba dan enzim. Teknologi ini telah diujicobakan pada liquid eggs, dan kemungkinan aplikasinya juga dapat diperluas pada sup dan produk sejenis lainnya.
Perkembangan teknologi tersebut, yang belum semuanya diaplikasikan secara komersial, diharapkan mampu menjadi solusi dan menjawab tantangan-tantangan yang ada. Persoalan pangan bukan lagi hanya terkait dengan jumlah, pangan harus memenuhi aspek keamanan, gizi, dan ramah lingkungan. Kedepannya, teknologi yang sesuai dengan aspek-aspek tersebutlah yang akan semakin dibutuhkan.
Penulis : Hendry Noer Fadlillah, STP. MP. ( Dosen International University Liaison Indonesia (IULI), Kandidat Doktor Ilmu Pangan (IPN) Institut PertanianBogor (IPB)