Salah satu bagian dari literasi digital ialah bagaimana berperilaku di ruang digital. Jangan sampai Indonesia yang dikenal dengan keramahan masyarakat namun ternyata berbanding terbalik jika berada di dunia maya.
Anita Wahid, Wakil Ketua Siberkreasi mengatakan, tidak dapat dipungkiri, komunikasi menjadi faktor penting dalam media digital. Sebagian besar waktu yang dilakukan dengan menggunakan media digital itu berupa komunikasi. Komunikasinya dapat berupa komunikasi satu orang dengan orang lain atau komunikasi antara satu orang dengan kelompok.
“Maka diperlukan komunikasi yang baik antara pihak-pihak yang saling terhubung ini. Dalam percakapan pesan yang privasi atau terbuka. Juga berkomunikasi dengan banyak orang seperti di media sosial, berbagi konten positif dengan penyampaian yang baik pula,” ujarnya dalam Webinar Gerakan Literasi Media 2021 untuk Kota Bandung pada Rabu (2/6/2021).
Semua pihak juga harus aktif mensosialisasikan beretika di ruang digital ini. Masyarakat kita harus memahami soal etika ini agar kedepannya tidak lagi terjadi serangan bullying juga terdapat suatu permasalahan yang sedang viral. Anita menambahkan, penting untuk paham bagaimana beretika saat berinternet.
“Karena kita semua manusia walaupun kita di dunia digital yang bisa pakai nama asli tapi fotonya bukan diri kita. Tapi di belakang itu semua adalah tetap manusia jadi ketika kita memaki sebuah akun sadari bahkan belakangnya juga manusia juga. Sama seperti kehidupan sehari-hari kita manusia bertemu manusia, sama bisa merasakan kalau diperlakukan seperti itu,” jelasnya.
Lebih lanjut Anita mengingatkan, kehidupan digital kita merupakan Curriculum Vitae (CV). Memang media sosial terkadang dianggap sebagai diary, merasa media sosial milik kita sehingga menjadi hak kita untuk memposting apapun. Padahal, sesungguhnya semua yang sudah hadir di ruang digital sudah direkam yang akan selalu ada di sana. Itulah jejak digital yang meskipun sudah dihapus akan sulit dihilangkan karena sudah tersebar.
“Jejak digital itu bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan misalnya pengecekan mengenai siapa kita sebenarnya. Mungkin akhirnya tidak jadi diterima saat melamar pekerjaan atau ketika mendaftar beasiswa. Pihak penyeleksi melihat ketika isi media sosial kita negatif-negatif semua hanya umpatan atau makian. Kita akan dicap jelek makanya kita harus hati-hati sekali,” ungkapnya.
Penting sekali ketika masuk dalam dunia digital, juga harus berbudaya. Sebagai masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan budaya atau adat istiadat, ketika berinternet pun juga harus memiliki budaya digital.
Dorien Kartikawangi, dosen Unika Atmaja yang juga aktif dalam Mafindo dan Tular Nalar menjelaskan budaya digital ialah membangun wawasan kebangsaan yakni nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari ini. Dia menekankan dalam kehidupan sehari-hari sebab terkadang secara normatif memahami lalu mengaku berwawasan kebangsaan dan memiliki nilai-nilai Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika tetapi dari perilaku sehari-hari dan bermedia social sama sekali tidak mencerminkan hal tersebut. Jadi ini bukan hanya persoalan normatif dan kognitif tetapi juga turun ke dalam perilaku masyarakat sehari-hari.
Tantangan masa kini yakni semakin kabur wawasan kebangsaan hal ini harus menjadi perhatian khusus dan dan ini adalah rintangan besar di kemudian hari.
“Menipisnya kesopanan dan kesantunan, ini media sosial bukan ranah pribadi semua orang bisa baca. Ketika kita dilihat orang lain kita perlu menjaga sopan santun tidak boleh suka-suka sendiri,” ujarnya.
Tantangan lain ialah kini media sosial sebagai panggung asing. Semua warga net Indonesia semakin bangga memamerkan kebudayaan negara lain. Mulai dari idola, hasil karya hingga produk. Terkikis rasa cinta Tanah Air yang seharusnya ditunjukan di media sosial karena akan dilihat bangsa lain.
Budaya digital lain yang harus diperhatikan ialah menghilangnya batas-batas privasi. Apa yang kita bagikan di media sosial sesuatu yang bukan menimbulkan kerugian untuk diri sendiri maupun orang lain. “Kita tidak mau urusan pribadi kita diurus orang lain sebaiknya tidak diunggah karena kalau diunggah berarti kita melakukan pembukaan sosial. Kalau sudah membuka diri ya memang harus siap untuk komentari orang lain. Kalau tidak mau maka kita yang harus paham tentang privasi ini,” tuturnya.
Menyoal privasi, Lestari Nurhajati, Wakil Rektor 4 Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR mengatakan, menjaga identitas digital kita menjadi hal utama dalam keamanan dalam bermedia digital. Masyarakat harus memahami mana indentitas pribadi yang terlihat dan tidak terlihat. Begitu juga dengan data diri, mana data umum, dan mana yang khusus sehingga tidak perlu dibagikan di dunia digital. Dia mengingatkan, jangan pernah menggunggah foto KTP dan harus menjaga Kode OTP, pin juga two factor authentication di platform e-commerce. Itu semua hanya milik kita sendiri yang mengetahui dan tidak untuk diberitahukan kepada orang lain.
“Kekerasan di ruang digital juga menyasar anak, maka menjaga identitas digital juga penting disampaikan kepada anak yang mulai berinternet. Jika tidak bullying hingga pornografi mengintai anak,” ujarnya.
Masyarakat harus disadari dengan adanya jejak digital. Jejak digital dapat pembawa sial di masa depan. Lestari menyebutkan, jejak digital seperti pesan teks dalam aplikasi chatting sekalipun sudah dihapus, foto dan video yang dibuat sendiri maupun yang ditandai oleh orang lain. Interaksi di berbagai media sosial seperti komentar, like berupa jempol atau love akan selalu menjadi jejak digital kita di dunia maya.
“Selalu berkomentar positif menjadi kewajiban kita agar kita dapat mengetahui seperti apa kita di hari ini secara daring dalam 10 tahun ke depan,” tutupnya.