Seseorang di dunia nyata terkadang berbeda jika dia sudah di ruang digital. Penyebabnya, berhubungan dengan sifat media sosial itu sendiri yang memiliki sense of anonymity. Seseorang dapat mudah membuat akun palsu dengan nama samaran dan bersembunyi di balik identitas palsu.
Nuril Hidayah Ketua Komite Litbang Mafindo mengatakan, jika melakukan tindakan negatif seperti memaki orang lain, mem-bully orang lain. Dampak konsekuensinya tidak dapat langsung diterima dan dirasakan karena dia jauh di sana tidak diketahui. Ditambah media sosial membuat intimasi distance atau merasa dekat.
Seorang artis yang selalu kita tonton kegiatan sehari-harinya, seakan-akan dia dekat dengan artis tersebut. “Sehingga merasa punya kapasitas untuk menghakimi dan berkomentar semaunya kepada artis tersebut,” ujarnya.
Echo chamber atau ruang gema di media sosial diakibatkan oleh algoritma media sosial. Di mana orang-orang dengan karakter yang sama dengan kegemaran yang sama itu berkumpul. Sehingga pikiran orang yang dalam ruang itu sudah homogen. Sehingga mereka tidak terbiasa dengan keragaman.
“Kalau kita sudah tidak biasa terpapar dengan keragaman maka bisa jadi tidak dapat menghargai ketika ada orang yang berpendapat berbeda,” ujarnya.
Pasal dalam UU ITE yang sering menjerat warga net Indonesia. Pencemaran nama baik pada pasal 27 ayat 3, ujaran yang bernuansa SARA pasal 28 ayat 2, pasal 29 jika dengan sengaja mengirim pesan berisi ancaman atau menebar ketakutan dan pasal 27 ayat 1 mengenai kesusilaan.
Tantangan lain ketika menjadi warga digital ialah banyaknya hoaks. “Kacaunya informasi ini jika masyarakat sudah terlanjur percaya dengan apa yang disebarnya. Sekalipun ada yang mengklarifikasi tetap dia percaya, dalam hal ini dia tidak sengaja. Parahnya jika memang disengaja, ini memiliki tujuan berbeda-beda jelas ini sangat salah,” jelasnya.
Informasi di dunia maya memang mudah sekali dibuat, disebar dan akan selamanya. Maka penting untuk selalu berhati-hati dalam menerima informasi.
Seseorang yang tidak memiliki literasi digital membuat dia malas membaca keseluruhan dari isi informasi, hanya percaya pihak tertentu dan tidak berusaha mencari tahu kebenaran juga bertindak emosial dalam menanggapi sesuatu. “Tidak mampu juga membedakan hoaks, semua informasi dianggap benar, bahkan mungkin juga dia tidak percaya ada orang yang sengaja membuat berita bohong. Padahal yang seperti itu sudah banyak disekitar kita,” sambungnya.
Maka, dengan semangat yang tidak henti Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Siberkreasi mengadakan Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya digital skills, digital ethics, digital safety, dan digital culture untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.
Pada Jumat (4/6/2021) gelaran Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 ini juga diadakan untuk masyarakat Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan pembicara lain seperti Sosiolog UI Devie Rahmawati mengulas budaya digital, Indriyanto Banyumurti tentang keamanan digital dan Enda Nasution yang memberikan tips-tips soal keahlian di dunia digital.