Hidup bersama dengan berbagai kalangan masyarakat membutuhkan rambu-rambu kesopanan. Kita yang pun control untuk menentukan apakah suatu itu pantas atau tidak. Sejak kecil rambu-rambu ini sudah diajarkan atau yang disebut etika. Bagaimana kita dapat menghargai orang lain dan bagaimana kita berperilaku di tengah masyarakat.
Lantas, ketika sudah dewasa, ajaran orang tua itu seperti dilewatkan ketika memasuki dunia digital. Penyebabnya, mungkin merasa hanya berhadapan dengan layar datar bukan manusia, etika yang sudah kita pupuk dari kecil ini pun hancur.
Septiaji Eko Nugroho, pendiri Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengatakan, media digital itu adalah perpanjangan indra kita bukan dunia alternatif. “Kalau kita bisa baik di dunia nyata, maka jangan bilang: saya boleh nakal dong di dunia maya atau juga digital. Beretika baik di dunia nyata itu juga harus diiringi dengan beretika baik di dunia maya,” ucapnya di webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Karawang, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021).
Padahal jika kita berbuat hanya sesuai kemauan sendiri dan tidak beretika di ranah digital justru dampaknya lebih parah. Saat ini jika kita berkomentar tidak baik, lantas banyak yang tidak suka. Komentar beserta akun media sosial kita akan viral.
“Dulu kalau kita berbuat salah di dunia nyata, mungkin yang tahu hanya 50 orang ya tetapi kalau kita melakukan kesalahan etika di dunia digital. Bisa seketika diketahui oleh ribuan bahkan puluhan ribu orang. Sehingga sangsinya bisa jauh lebih berat daripada kalau kita melakukan kesalahan di dunia nyata,” ungkapnya.
‘Teguran’ media sosial bagi seseorang yang bertindak melanggar etika, reputasi pribadinya akan sulit dipulihkan. Jejak digital itu sangat sulit untuk dihapus dan beberapa kasus teguran tambahan dari media sosial ialah diserang oleh orang-orang yang sebenarnya juga tidak beretika juga. Mereka melakukan cyber bullying terhadap kita, perundungan ini nyata dapat merusak mental.
Apa yang sudah dilakukan di media sosial memang akan selalu terekam sekalipun sudah dihapus. Mungkin saja ada orang yang sudah mengambil tangkapan layar (screen shot) meskipun sudah dihapus. Ada aplikasinya bahkan ponsel pintar pun sudah menyediakan langsung fitur screen shot ini.
“Bahkan di internet itu ada fasilitas yang bisa dilakukan untuk pengarsipan terhadap sebuah konten. Jadi praktis apa yang kita unggah di internet itu sangat sulit untuk hilang. Berbeda dengan kalau kita berbuat kesalahan di dunia nyata itu mungkin akan lebih mudah dilupakan, tuturnya.
Maka, warga net di Indonesia perlu memahami Netiket yang menjadi satu dari empat pilar yang ingin dibangun guna Indonesia makin cakap digital.
Webinar ini juga menjadi salah satu sosialisasi Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Siberkreasi. Selain Septiaji hadir juga Ferraly Mahardika (Digital Media Bussines Manager Eventory), Romzy Ahmad (Wakil Ketua Gerakan Literasi Digital Nasional), Budayawan Bambang Bujono, dan content creator Ummi Kalsum.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital ini merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.