Kota Tangerang – Forum Mahasiswa Pecinta Lingkungan (Formapel) mempertanyakan program dan komitmen Pemerintah Kota Tangerang dalam menangani dampak lingkungan di TPA Rawa Kucing. Faktanya, volume sampah yang masuk ke TPA Rawa Kucing terus meningkat pesat, namun belum ada perencanaan yang jelas tentang apa yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Kota untuk menuntaskan permasalahan ini.
Rencana pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang direncanakan bertahun tahun untuk mengubah sampah menjadi listrik juga belum terlihat meskipun tendernya telah selesai dan pemenangnya sudah diumumkan. Belum lama ini, Pemkot Tangerang juga telah menandatangani nota kesepahaman dengan PT Indonesia Power untuk menghasilkan bahan bakar dari sampah untuk pembangkit PLN, namun hasilnya belum terasa.
Arief Iskandar, aktivis Formapel mempertanyakan bahwa jika program-program penangangan sampah yang dijalankan Pemkot Tangerang itu memang efektif, maka jumlah sampah yang menumpuk di TPA Rawa Kucing tidak akan seburuk seperti kondisi saat ini. Revitalisasi yang dilakukan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dengan anggaran Rp 82,7milyar di tahun 2019 seharusnya dapat terus menunjang pengelolaan sampah kota tanpa merugikan masyarakat disekitarnya. Kenyataannya, hasil perbaikan fasilitas dari PUPR kini sudah tertimbun sampah.
Akibatnya, warga mengeluhkan rembesan air sampah TPA Rawa Kucing yang terus menerus mencemari lingkungan dan pasti berdampak buruk bagi masyarakat dan petani yang bermukim di sekitarnya. Penurunan derajat kesehatan masyarakat, dan resiko jangka panjang kini sudah darurat membayangi warga Kota Tangerang. Meski telah disorot oleh DPRD Kota Tangerang, Pemkot Tangerang belum memberikan jawaban yang konkrit mengenai penanganan TPA Rawa Kucing kedepannya.
Formapel berharap Pemerintah Kota Tangerang serius melaksanakan program-program penanganan sampah di hulu dan hilir secara massif sehingga dapat mengurangi beban TPA Rawa Kucing dan dampak lingkungannya. Permasalahan lingkungan yang makin meruncing ini menimbulkan polemik diantara pemerintah dan kalangan aktivis lingkungan hidup yang ada di Kota Tangerang. Formapel menuntut penanganan sampah di Kota Tangerang seharusnya tidak hanya mengandalkan pasukan kebersihan (Pasukan Oranye), namun perlu lebih menyeluruh dari hulu ke hilir sehingga tidak merugikan warga diseputar TPA.
“Jadi sinergi dari hulu ke hilir tuh ya mesti benar-benar konsen, bukan hanya seremonial.” Tegas Arief
Menguaknya permasalahan di TPA Rawa Kucing yang disuarakan oleh Formapel menjadi perhatian aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta, Dede Ahdi. WALHI menilai Pemerintah Daerah masih lamban dalam mengelola sampahnya dan terkesan ada masalah di internal pemerintah daerahnya.
“Untuk kasus TPA yang tidak terurus seperti ini, berarti ada masalah di internal pemdanya. Padahal, kebijakan atau aturan sudah bagus dibuat, tinggal merealisasikan” kata aktivis Walhi DKI Jakarta Dede Ahdi kepada wartawan, Senin (14/6).
Dede menekankan, Walhi meminta Pemerintah Kota memperhatikan program Jakstranas dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang termuat dalam Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 dan Undang Undang No. 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Di dalam kedua kebijakan ini, Pemerintah Kota wajib secara bersama-sama menurunkan timbulan sampah di hulu dan menanggulangi sampah di hilir (TPA) dengan tata-cara yang tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan.
“Hal itu sudah termuat dalam aturan di Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017. Di hulu, pemerintah perlu membangun kesadaran sektor rumah tangga atau masyarakat untuk mengelola sampah dengan 3R mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse) dan mendaur ulang (recycle). Di hilir, pemerintah kota perlu menangani sampah dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Jadi, saling membantu antara pemerintah serta lembaganya dan masyarakat,” jelas dia.
Walhi juga mendambahkan, problematika yang dihadapi Pemkot Tangerang tidak perlu diselesaikan sendiri, namun perlu melibatkan Pemerintah pusat padahal peraturan sudah ada dan lengkap, sayangnya penerapannya belum maksimal. Lebih pelik lagi, tata kelola sampah di tanah air saling mengkait dengan 32 kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dunia usaha dan pengelola kawasan serta masyarakat.