Kabar bohong atau hoaks menjadi salah satu tantangan di ruang digital. Sebenarnya kata hoaks mulai digunakan sekitar tahun 1808 yang berasal dari kata hocus memiliki arti mengelabui.
Peningkatan kata juga dari hocus dan juga pocus semacam mantra dari aksi sulap di atas panggung seperti istilahnya yang sering didengar bimsalabim. Hoaks memang pengganggu arus informasi yang berkembang, ada mis-informasi, dis-informasi dan mal-informasi. Bentang Febrylian, Pemeriksa Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menjelaskan dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital untuk wilayah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (17/6/2021) dengan tema Membedakan Informasi dan Hoaks.
Bentang menjelaskan, mis-informasi ialah informasi yang salah, keliru, bohong atau palsu namun secara tidak sengaja disebarluaskan. Dipastikan ini tidak memiliki motif apapun hanya faktor ketidaktahuan si penyebar. Beda lagi dengan dis-informasi biasanya informasi atau kabar yang keliru palsu atau bohong yang disebarkan kembali secara sengaja dan memiliki motif-motif tertentu. Sedangkan mal-informasi itu cenderung benar namun di dalamnya itu biasanya diselipkan isu-isu yang berkaitan dengan suku agama ras dan juga antar golongan atau isu-isu yang berkaitan dengan SARA. Sehingga kadang menjadi bahan perbincangan.
“Hoaks juga memiliki berbagai jenis, yang merupakan kategori yang biasanya saya dan kawan-kawan pemeriksa fakta gunakan untuk mengkategorikan hoaks. Seperti satir atau parodi itu dia tidak ada niat untuk merugikan namun berpotensi untuk mengelabui ada juga konten yang menyesatkan, penggunaan informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu atau individu,” jelasnya.
Jadi, biasanya konten-konten jenis ini dibentuk dengan nuansa plintiran untuk menyerang baik lembaga maupun individu. Kemudian, jenis hoaks lainnya berupa konten tiruan ketika sebuah sumber asli ditiru atau dibuat kloningan. Bentang menambahkan, dirinya dan kawan-kawan pemeriksa fakta itu seringkali menemukan konten jenis ini untuk menyerang pejabat publik, pemimpin sebuah daerah kemudian ada juga public figure. Contohnya ada akun media sosial yang memakai nama public figure dengan berbagai macam motif tertentu. Contoh akun TikTok milih pengacara kondang Hotman Paris padahal Hotman tidak pernah membuat akun TikTok.
Jenis informasi palsu lainnya ini memang konten yang 100% palsu. Baik foto, video, teks dan lain sebagainya itu dibuat palsu. Kemudian konten yang salah ketika judul, gambar atau keterangan tidak mendukung konten. “Biasanya konten yang salah ini judul dan foto juga isi berita tidak sesuai. Jadi judulnya berkaitan dengan A tapi isi dari informasinya itu tidak ada sama sekali yang menggambarkan dari judul tersebut, tambahnya.
Kemudian konten salah ketika konten yang asli dipadankan dengan konteks informasi yang salah. Konten jenis ini biasanya sering kali muncul jika terjadi bencana alam, kecelakaan pesawat. Foto atau video dari masa lampau itu dimunculkan kembali dengan dihubungkan dengan kejadian pada masa ini.
Jenis hoaks lain, konten yang dimanipulasi ketika informasi atau gambar yang asli dimanipulasi untuk menipu. “Saya pribadi itu juga sering menemukan konten-konten yang dimanipulasi, bahkan seringkali juga menyerang media-media kredibel dan media arus utama. Jadi biasanya ada logo sebuah media terus kemudian judulnya diganti diubah sesuai dengan keinginan si pembuat. Kemudian ada juga yang berubah dari segi tahunnya bahkan fotonya itu pun diubah jadi itu masuk ke dalam konten yang dimanipulasi,” tutup Bentang.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Siberkreasi di wilayah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (17/6/2021) ini juga menghadirkan pembicara Vitalia Fina Carla Rettobjaan (RTIK Bali, Dosen Universitas Bali Internasional), Fikri Mohammad (Senior Manager Safety Garuda Indonesia), Rifky Indrawan (Ketua Relawan TIK Lampung), dan Key Opinion Leader Junnisa Melvian.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.