Hidup di dunia digital, menurut Bambang Iman Santoso, Pakar Neurosains ialah bagaimana kecakapan untuk menahan diri. Refleks penting tapi ada hal yang harus harus dipikir dahulu secara sadar. Caranya dengan memberi jeda aktivitas, atur nafas yang baik itu dapat meminimalisir pikiran otomatis.
“Kita memiliki ability control untuk menahan diri terlebih motorik kita dekat yakni jari. Jangan sampai kita tidak dapat menahan untuk menyebarkan informasi yang belum tentu benar atau kita refleks berkata kasar di kolom komentar tanpa sadar,” ujarnya saat menjadi pembicara di Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (22/6/2021).
“Memperbaiki perilaku yang gaduh di digital itu harus dirapikan dulu perilaku kita di dunia nyata karena amplifikasi ketika masuk dunia internet, semua mau tampil lebih baik,” jelasnya.
Bagaimana kita seharusnya melatih cara berpikir diri kita secara fleksibel kognitifnya bukan berarti kita tidak punya pendirian. Indonesia punya masalah besar menyangkut CFD (Cognitive Flexibility Disorder) yakni fenomena hoaks. Bambang menegaskan, ini terjadi bukan karena masyarakat Indonesia tukang tipu, tapi karena adanya fasilitas yakni internet digital.
Jika dulu informasi itu ingin naik ke permukaan itu tidak mudah butuh banyak proses. Misalnya di radio, harus melewati program director, kalau pada tulisan harus melewati pemimpin redaksi dan itu ada jenjangnya bagaimana kode etik untuk jurnalistik media dan untuk penyiaran. Sementara sekarang semua dengan Internet dapat dengan mudah menaikan berita.
Permasalahan lain yaitu radikalisme, bukan agama tapi di segala bidang seperti saat kita mengikuti banyak pelatihan, kita selalu membandingkan narasumber satu dengan lainnya. Radikal ialah fixed mind atau merasa dirinya lebih pintar dari yang lain.
“Biasanya banyak terjadi jika sudah berusia 50 – 55 tahun seperti para orang pintar seperti profesor yang memang pintar ahli hingga tidak ingin mendengar yang lain. Akibatnya dia mudah terkena parkinson, alzeimer,” ungkapnya.
Jadi cognitive flexibility yang paling utama di dalam dunia digital. Jadi kita terlalu kaku kaitannya bukan hanya etika, budaya yang akhirnya mengancam. Keamanan digital ini kita artikan lebih luas lagi bisa mengancam karier dan seterusnya.
Bermedia sosial sendiri dan bersama pun berbeda. Kalau sendiri cenderung bebas merasa boleh melakukan apapun. Kita foto bebas seenaknya misalnya foto bugil karena merasa sendiri tapi ternyata tidak ada yang bisa menjamin gambar itu tidak berjalan. Meskipun sudah diamankan dengan password tapi tetap saja bisa saja gawai kita rusak atau hilang hingga akhirnya pindah ke tangan orang lain.
Ini yang jadi masalah, kemampuan digital mempengaruhi etika, budaya dan juga keamanan digital. Hari ini literasi digital suatu kompetensi atau kemampuan yang umum kalau dulu hanya orang-orang ahli teknologi informasi kalau sekarang semua profesi digital literasi-nya harus kuat.
“Tugas kita menjadi besar karena dulu kita berhasil memberantas buta huruf tapi apakah pekerjaan rumah literasi baca sudah selesai. Ternyata belum, karena faktanya kita masih malas baca. Karena permasalahan dari literasi digital ialah masalah kemampuan yang bersumber dari literasi membaca,” tuturnya.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Siberkreasi. Wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (22/6/2021) ini juga menghadirkan pembicara Nurul Ummah Hidayatul (Ketua Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama – IPPNU), Vivid Sambas dan Giri lukmanto dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) juga Jessica Alexy sebagai Key Opinion Leader.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.