Di ruang digital, seringkali kita merasa ikut ketakutan, khawatir berlebih usai membaca sebuah informasi. Awas! Bisa jadi informasi tersebut ialah sebuah hoaks. Salah satu ciri hoaks ialah dapat membuat kita terasa emosional. Memang hoaks menimbulkan kerugian bukan hanya untuk diri sendiri namun juga bagi masyarakat.
Dalam webinar literasi digital wilayah Cirebon, Jawa Barat, Bentang Febryan, pemeriksa fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menjelaskan dampak hoaks atau informasi palsu ialah dapat memicu perpecahan. Jika diingat, Pemilu 2019 saat itu ada dua julukan seperti cebong atau kampret ini sangat memicu perpecahan dimana orang sangat mudah melabeli jika sedikit membela salah satu kubu.
“Bahkan kami sempat mendapat dua julukan itu padahal sudah jelas kami tidak membela siapapun. Tidak terbayang jika hal tersebut menimpa seseorang yang tidak terima mendapat julukan tersebut dan marah,” jelasnya.
Dampak hoaks juga akan membingungkan masyarakat. Bentang mengatakan, kita sudah ada di era post-truth atau era pasca kebenaran. Seseorang mempercayai sebuah informasi meskipun informasi itu tidak berdasar pada data dan fakta. Jadi hanya berdasar pada kedekatan emosional contoh kita percaya karena dia guru kita, karena lebih tua daripada kita atau kedekatan lainnya sahabat, pasangan dan lainnya.
Hoaks memicu ketakutan, biasanya berita soal bencana alam tsunami susulan, gempa susulan. Bukan hanya itu, isu kriminal juga dapat membuat ketakutan. Pada tahun 2019 Indoensia disibukkan soal hoaks penculikan anak yang sangat memicu ketakutan dari orangtua khususnya memiliki anak kecil.
Hoaks tentu saja membuat akhirnya fakta malah menjadi sulit dipercaya. Sebab menjadi tipis perbedaannya dan kita masuk dalam era post truth itu. Hoaks mampu menurunkan reputasi terlebih kepada orang-orang terkenal atau yang memiliki citranyang baik sebelumnya, bisa langsung kehilangan reputasinya akibat kabar bohong.
Bahkan hoaks dapat memakan korban jiwa, masih tahun 2019 bukan hanya Indonesia saja yang marak dengan isu penculikan anak. Di India pun sama, bahkan di sana ada seorang dokter yang ingin menyambangi sebuah desa untuk melakukan pemeriksaan berkala ke desa tersebut. Namun karena desa itu sudah terpapar hoaks soal penculikan anak ini. Akhirnya sang dokter tewas dikeroyok karenanya dikira penculik anak.
Masyarakat harus mampu membedakan Informasi dan hoaks, perhatikan urlnya jangan sampai tertipu karena kerap mereka menggunakan nama media besar. Pastikan judul dan isinya berhubungan minimal kita bisa menghindari dari bias dan framing. Tidak hanya stop membaca judul lali malas membaca isi dari informasi tersebut.
Periksa waktu pemberitaan, karena bisa saja pembuat hoaks menghilangkan waktu pemberitaan. “Periksa foto dan video yang disematkan pada informasi, teliti sumber asli dan jika mendapat sebuah informasi harus dibandingkan dulu dengan sumber lain,” tutupnya.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKomInfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (30/6/2021) ini juga menghadirkan pembicara Komang Triwerthi (Relawan TIK Bali), Xenia Angelica (LSPR Communication and Business Institute), Martha Simanjuntak Pendiri Indonesia (Women IT Awarness -IWITA), dan Bella Winarta Putri sebagai Key Opinion Leader.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.