Budaya dikenal sebagai suatu ciri khas. Budaya juga dapat berupa praktik, produk, dan perspektif dari sekelompok orang yang sudah terbentuk dari lama. Namun, budaya digital dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana teknologi dan informasi membentuk pola pikir, perilaku, dan cara berkomunikasi manusia dengan memanfaatkan media digital. Budaya digital saat ini menjadi budaya baru di masyarakat. Hampir setiap harinya, masyarakat tidak bisa lepas dari gadget.
Era 4.0 dikenal juga sebagai era digital, di mana masyarakat dalam kesehariannya sangat membutuhkan perangkat digital. Terlebih semenjak pandemi Covid-19 semua orang seperti dipaksa untuk beralih menjadi serba digital.
“Keadaan ini membuat internet menjadi komunikasi massal bagi kita semua dan makin meningkatnya penggunaan laptop dan smartphone pribadi. Internet menjadi sangat penting saat ini karena kebutuhan bekerja. Proses belajar mengajar pun melalui dunia digital. Semua ini membuat kita selalu mampu untuk mengelola segala sesuatunya dengan efektif, efisien, serta terukur,” tutur Rovien Aryunia, Mafindo, dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Jumat (2/7/2021).
Sama seperti dunia nyata, dunia digital pun memiliki sisi negatif. Kejahatan saat ini pindah ke dunia online. Penipuan, pencurian data, perampokan, pornografi, termasuk terorisme. Akses informasi yang luas pada media digital membuat pengguna sulit memilah mana informasi benar dan salah. Dalam menggunakan media digital memerlukan diri yang bijak dan kritis.
“Apa yang kita tampilkan di dunia nyata harus sama dengan yang ditampilkan di dunia digital. Untuk menjadi warga digital yang baik, sebaiknya selalu berpikir kritis, rajin memeriksa sumber dan keaslian berita, meminimalisir unfollow dan block agar algoritma tidak mudah terbaca,” tuturnya.
Ia mengatakan, sebagai warga digital manusia memiliki hak digital. Hak ini menjamin setiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan media digital. Hak digital terdiri dari, hak akses digital, hak kebebasan berekspresi, hak untuk merasa aman, dan hak kekayaan intelektual.
Lanjutnya, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap budaya digital dapat berdampak buruk bagi individu tersebut sebagai pengguna. Batasan berekspresi yang tidak dipahami dapat menjerat pengguna dengan UU ITE atas ujaran kebencian, provokasi, bahkan pencemaran nama baik.
Selain itu, ketidakmampuan seseorang dalam membedakan antara batasan privasi dan keterbukaan informasi merupakan dampak minim pemahaman budaya digital. Lainnya, pengguna tidak dapat membedakan antara misinformasi, disinformasi, dan malinformasi di dunia digital.
Di Indonesia sendiri, pengguna dapat menerapkan keberagaman, toleransi, dan demokrasi dalam dunia digital. Pengamalan Pancasila dalam dunia digital mampu memberikan dampak baik dalam penerapan budaya digital.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Jumat (2/7/2021) juga menghadirkan pembicara Rendi Saerful Ajid (Kepala Bidang Humas Relawan TIK Kota Cirebon), Mario Antonius Birowo (Universitas Atma Jaya Yogyakarta), Kharisma Nasionalita (Dosen dan Peneliti Telkom University), dan Amanda Karina Putri sebagai Key Opinion Leader.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.