Platform yang banyak menghasilkan hoaks yakni Facebook, WhatsApp dan YouTube mengenai politik, kesehatan dan agama. Hoaks yang politik dan agama yang masih dibahas di tengah pandemi. Informasi kesehatan selalu dicampur baurkan dengan isu politik dan agama. Membuat masyarakat Indonesia harus berjuang melawan bukan hanya virus namun hoaks.
Namun, selain hoaks ada lagi yang membahayakan di ruang digital. Menurut Ridwan Rustandi, dosen FDK UIN Bandung selain hoaks yang perlu diantisipasi adalah konten-konten yang mengarah pada radikal terorisme. Salah satu kelompok teroris yang meresahkan dunia ISIS membangun kekuatan atau membangun jaringan di media sosial.
“Mereka aktif membuat membuat 166 grup di media sosial membangun jaringan bahkan dalam satu hari ada 90 ribu pesan atau konten mengenai mereka. Dalam 24 jam ada 270 kicauan di Twitter yang menggambarkan orang yang pro ISIS,” ungkapnya di Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (14/7/2021).
Maka, saat ini menjadi ancaman yang perlu kita perhatikan di tengah teknologi apa yang disebut dengan dehumanisasi digital. Ridwan menjelaskan sederhananya kita adalah manusia tapi kadang karena interaksi yang dibangun banyak lewat perangkat teknologi digital, membuat orang tidak memanusiakan orang lain. Mereka seolah mengubur jiwa kemanusiaan. Misalnya, ada peristiwa kecelakaan musibah dan sebagainya, yang terjadi bukan menolong tetapi malah memviralkan dengan alasan untuk mengejar konten.
Konten juga yang menjadi alasan seorang YouTuber menjebak atau prank memberi paket bantuan yang ternyata isinya sampah. Konten yang tidak manusiawi hanya mengejar viral. Dehumanisasi digital berbentuk kejahatan digital itu yang sudah pasti disadari namun hilangnya etika dalam hidup.
“Bagaimana seseorang bisa mengeluarkan kata kata kasar, menjatuhkan seseorang dan merendahkan orang di media sosial. Semua sudah jauh dari kemanusiaan,” ucapnya geram.
Maka nya sekarang kita masuk dalam public domain yang di antaranya ada connective action. Bentuk dari connective action adalah penggunaan hashtag pada saat kita ingin mengkampanyekan sesuatu. Itu menjadi bagian dari connect action kita sedang membangun koneksi yang global. Hastag ini sudah seperti gerakan untuk mengubah hal bahkan kebijakan. Diharapkan manusia yang berada di dunia digital masih manusiawi dengan bersatu dengan manusia lain untuk membangun sebuah perubahan salah satunya melalui hastag tersebut.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKomInfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (14/7/2021) ini juga menghadirkan pembicara Michael Sjukrie (under water Photographer), Mario Antonius Birowo (Universitas Atmajaya Yogyakarta), Asep Suhendar (Relawan TIK) dan Ilyana Salsabila Islamie sebagai Key Opinion Leader.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.