Berbagai macam permasalahan di media sosial seperti ada konten kreator yang memparodikan lagu Indonesia Raya, prank dengan menawarkan uang Rp 10 juta agar membatalkan puasa, prank paket sampah hingga menyebarkan hoaks.
Semua kasus itu dilaporkan dan berakhir di penjara karena terjerat UU ITE. Sebenarnya semua perilaku itu masuk dalam etika berdigital.
Etika berkaitan dengan perilaku, tindakan, tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan baik individu kelompok atau lingkungan sekitarnya. Itu semua dapat bersifat terbuka atau tertutup. Jadi, jika kita bereaksi terhadap apapun dari orang lain itu sudah sebagai perilaku kita. Perilaku kita itu bisa jadi masuk dalam kategori baik buruk atau pantas tidak pantas.
Dudi Rustandi, dosen Telkom University mengatakan, etika juga menyangkut norma sosial, aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat sebagai panduan tatanan dan pengendali tingkah laku yang sesuai. Norma-norma ini biasanya di tiap daerah berbeda dan semua tetap untuk menjaga kita agar tetap terkontrol
Dudi menjelaskan, etika mengatur baik buruk, pantas atau tidak pantas dan benar salah merujuk pada dampak dan manfaat yang dirasakan. Namun tidak subjektif karena bisa merujuk pada kaidah tertentu misalnya agama, norma masyarakat.
“Sedangkan pantas tidak pantas itu merujuk pada kebaikan atau keburukan yang langsung bersandar pada etiket. Jika tidak terkait dengan interaksi sosial bisa jadi baik. Misalnya, saat tidak ada siapa-siapa, kaki saya naik ke meja karena pegal. Tapi saat sedang Webinar walaupun orang-orangnya melihat melalui laptop tetap tidak akan saya mengangkat kaki saya ke meja,” Ujar Dudi dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Kamis (15/7/2021).
Etika ini terkait juga dengan benar atau salah perilaku yang langsung berkaitan dengan aturan yang legal misalnya hukum karena itu sudah merujuk pada sebuah kesalahan seseorang. Kalau kita melihat warga digital masih melihat dunia digital ini berbeda daripada dunia nyata.
“Padahal, jika mereka mau lebih sadar, sebenarnya tidak ada yang berubah atau tidak ada yang berbeda karena kita tetap berkomunikasi dengan sesama manusia,” sebutnya.
Di media sosial boleh saja bercanda atau prank tapi sebenarnya kita harus melihat dulu prank apa dan siapa yang kita tuju. Selayaknya bercanda di dunia nyata, tidak mungkin kita melakukannya dengan orang tidak dikenal.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKomInfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Kamis (15/7/2021) ini juga menghadirkan pembicara Queena Fredlina (Dosen STMIK Primakara), Mario Devys (Founder Nunini Agro), Muh Nurfajar Muharrom (RTIK Indonesia), dan Bella Winarta Putri sebagai Key Opinion Leader.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.