Motif seseorang dalam menyebarkan hoaks itu bermacam-macam. Ada yang memang dari dalam dirinya ada juga karena pengaruh dari luar. Faktor berasal dari luar adalah ideologi ketika seseorang sudah sangat percaya suatu ideologi akan membela dan menganggap yang lain itu salah.
Maka tidak heran, jika ada informasi yang sekalipun salah mereka tetap percaya bahkan ingin menyebarkannya. Motif politik juga yang berasal dari orang lain karena sudah percaya dengan sebuah partai atau pandangan tertentu dan seorang tokoh membuat seseorang tutup mata dengan informasi negatif mengenai mereka.
“Seseorang menjadi lebih percaya dengan mereka sehingga segala informasi diharapkan selalu positif untuk orang yang didukungnya. Hoaks di politik juga kerap kali disebarkan untuk menjatuhkan lawan politik,” ujar Leili Kurnia Gustini, Wakil direktur Politeknik LP3I saat menjadi pembicara dalam Webinar Literasi Digital Nasional 2021 di wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (27/7/2021) siang.
Motif uang ini memang berdasarkan bayaran dan dilakukan secara masif. Ada lagi motif iseng yang sebenarnya malah parah karena mereka menganggap ini sebagai sebuah mainan. Biasanya dilakukan anak muda seperti kasus di Gorontalo ada seorang remaja 13 tahun yang menyebarkan hoaks mengenai virus corona dan akhirnya dia ditangkap.
“Sangat disayangkan masih kelas 1 SMP dia sudah iseng berbuat seperti ini. Akhirnya tidak bisa belajar. Maka dari itu literasi digital memang sangat penting bagi anak remaja yang mulai masuk dalam dunia digital,” jelasnya.
Leili menambahkan, yang harus diwaspadai juga adalah ada aplikasi untuk membuat hoaks percakapan di WhatsApp. Aplikasi tersebut fake chat maker. Lantas mengapa masih banyak saja orang yang percaya dengan informasi hoaks.
Menurut survei dari Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) mengapa masyarakat meneruskan berita heboh yang padahal belum tentu kebenarannya? Karena berita yang mereka dapatkan berasal dari orang terpercaya sebanyak 47 persen yang berpendapatan seperti itu.
Lalu 31,9 persen mengira Informasi tersebut bermanfaat walaupun memang belum ada kebenarannya. Sebanyak 18 persen mengatakan imengira informasi itu benar dan 3 persen mengatakan ingin jadi orang yang pertama tahu.
Jadi yang dibutuhkan masyarakat adalah berpikir kritis, tidak langsung menerima, mencerna apapun informasi yang datang. Selalu curiga dengan informasi yang dikatakan siapapun dan tentu kita juga harus mencari fakta yang sebenarnya.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (27/7/2021) siang menghadirkan pembicara Queena Fredlina (STIMIK Primakara), Rita Gani (Mafindo), Asep Suhendra (Relawan TIK) dan Yumna Aisyah sebagai Key Opinion Leader.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.