Evolusi media berjalan seiring berkembangnya teknologi. Awalnya berita disebarkan melalui koran, sekarang ini berita bisa didapatkan melalui portal berita online.
Berkembangnya teknologi membuat beberapa YouTuber ada yang disebut sebagai homeless media. Homeless media adalah media yang tidak berada dalam naungan media besar. Karena mereka mengulas isu secara dalam dengan narasumber dari dua sisi. Akhirnya mereka disebut dengan homeless media. Contohnya, Deddy Corbuzier dalam podcastnya.
Kondisi media saat ini layaknya tsunami. Dalam paparan Ria Ariyanie, Praktisi Humas & Komunikasi juga Co-Founder dan CEO Telk Link mengutip data Dewan Pers tahun 2018, jumlah media massa di Indonesia diperkirakan mencapai 47.000. Dengan rincian 2.000-3.000 media cetak, 43.300 media online, dan sisanya adalah radio dan televisi. Dari jumlah tersebut hanya 2.400 media yang terverifikasi Dewan Pers. Hal ini menyebabkan adanya persaingan antarmedia dalam mencari pembaca.
“Dibutuhkan kreativitas dan pengemasan konten yang menarik untuk pembaca mereka. Karena kondisi pandemi, membuat kondisi media juga runyam. Karena, jurnalis dituntut untuk membuat berita sebanyak mungkin di tengah keterbatasan gerak karena adanya aturan seperti PPKM,” ujar Ria dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (29/7/2021).
Akibat keterbatasan tersebut, banyak media yang mencomot konten dari media sosial. Kemajuan teknologi juga menjadikan kanal media sosial dan aplikasi pesan menjadi wadah penyebaran berita. Di samping itu, hoaks juga banyak tersebar melalui kanal media sosial dan aplikasi percakapan pesan.
“Kita harus menjadi netizen yang cerdas. Netizen cerdas ini mampu dalam mencirikan berita hoaks dan berita asli. Pada umumnya, berita hoaks membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan,” jelasnya.
Ciri lainnya, berita hoaks juga mengandung ajakan, hasutan, propaganda dan provokasi negatif. Sebagai pengguna media sosial dan pembaca media online, kita harus mampu mengontrol emosi. Misalnya, dalam mempertahankan eksistensi jangan sampai menyebarkan hoaks. Eksistensi yang cerdas bukan berarti harus tahu pertama dalam segala hal informasi, melainkan mengetahui kebenaran informasi tersebut.
Kita juga perlu melakukan redaksional cek dengan mengecek link, mengecek judul berita clickbait, mengecek reputasi media, serta memeriksa alamat email. Menjadi netizen cerdas mengharuskan kita untuk membaca, memahami, dan meneliti berita, serta membaca berita dari dua pihak yang diberitakan. Kita harus berhati-hati dengan konten buatan, konten yang dimanipulasi, serta tentunya konten yang menyesatkan.
Lanjutnya, mengawasi dan menginfokan kebenaran terhadap hoaks. Selain itu, harus waspada terhadap penipuan dan phishing. Terakhir dengan menyaring sebelum sharing.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKomInfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (29/7/2021) juga menghadirkan pembicara, Dicky Renaldi (Kreator Nongkrong by Siberkreasi), Ira Pelitawati (RTIK dan Pegiat Literasi), Ria Ariyanie (Praktisi Humas & Komunikasi Co-Founder, CEO Telk Link), Muhammad Ayip Faturrohman (Relawan TIK Jawa Barat), dan Diza Gondo sebagai Key Opinion Leader.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.
