Kenyamanan di ruang digital terganggu dengan kehadiran informasi palsu, bohong atau yang kerap disebut hoaks. Hoaks berasal dari kata mantra para penyihir pada zaman dahulu yaitu Hocus Pocus yang berasal dari bahasa latin Hoc Eat Corpus yang bertujuan untuk memperdaya orang lain dengan kata-kata bohong mereka.
Jadi hoaks adalah sebuah kebohongan atau informasi sesaat yang sengaja disamarkan agar terlihat benar. Hoaks ini sering dipakai juga saat perayaan April Mop terlihat seperti benar padahal itu sengaja untuk membohongi.
Media sosial masih menjadi sumber utama untuk mendapatkan informasi. Menurut survei, masyarakat kini biasa mengakses informasi itu melalui media sosial sebanyak 76 persen, televisi 59,5 persen dan berita online 25,2 persen.
Media sosial memang sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini, tidak heran masyarakat pun bukan hanya sekadar berjejaring atau bertemu dengan teman lama dan teman baru tapi juga mendapatkan informasi dari sana. Namun tetap saja mereka hanya 20,3 persen yang percaya informasi yang didapatkan dari di media sosial. Tetap informasi dari televisi menjadi yang lebih mereka percaya sebanyak hampir 50 persen. Sisanya dari mereka percaya situs pemerintah, berita online dan media cetak.
Nyatanya media sosial juga dianggap sebagai salah satu media yang paling banyak menyebarkan hoaks. Apalagi media sosial berbasis pesan WhatsApp menjadi media sosial yang paling sering menyebarkan informasi palsu sebanyak 55,2 persen, kemudian Facebook di 27 persen, disusul Instagram, YouTube dan Twitter.
Meylani Pratiwi, pengurus Relawan TIK Jawa Barat menilai, tidak heran WhatsApp menjadi yang paling banyak, karena WhatsApp dapat membuat grup-grup yang berisi bermacam-macam orang. Terdiri dari orang yang berbeda tingkat pendidikan, literasi sehingga dengan mudah dapat menyebarkan informasi apapun yang diterima.
“Kebanyakan dari mereka hanya membaca judulnya saja atau headline-nya saja kemudian langsung disebar. Faktor lain yang menyebabkan orang-orang di dalam grup WhatsApp itu juga percaya disebabkan karena yang menyebarkan informasi hoaks tersebut adalah sosok yang dituakan atau sosok yang dihormati sehingga dia merasa lebih yakin itu adalah informasi benar,” jelas Meylani.
Berbicara dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (29/7/2021) dia pun menjabarkan alasan seseorang untuk menyebarkan informasi palsu. Ternyata hanya meneruskan informasi tanpa berpikir tentang hoaks. Menurut survei sebagian besar atau 70 persen berpikiran seperti itu, ada juga yang tidak menyadari bahwa itu hoaks (56 persen). Mereka tidak paham sumber berita dengan jelas (14,6 persen) dan bahkan hanya sekadar iseng juga memang sengaja untuk mempengaruhi orang.
Maka masyarakat Indonesia itu harus diedukasi soal saring sebelum sharing. Tidak buru-buru untuk membagikan ulang informasi yang dierima di media sosial.
“Biasanya hanya karena isinya itu sesuai dengan perasaan dia saat itu. Sesuai dengan apa yang dia sukai, dukung atau yang dipilih. Padahal belum tentu itu benar,” ujarnya.
Ada banyak langkah yang harus dilakukan ketika menerima informasi sampai akhirnya informasi itu dibagikan atau malah lebih baik tidak perlu dibagikan. Jika menerima informasi dapat mengecek, apakah benar atau tidak, mengecek di situs terpercaya.
Kalau informasi dari pemerintah bisa langsung dibuka situs pemerintahan yang bersangkutan. Selain itu juga dapat dicek dari media massa nasional yang terdaftar di dewan pers karena setiap pemberitaan setiap informasi yang cukup penting pasti ada di media massa tersebut.
“Apakah ada manfaatnya apabila informasi ini dibagikan hanya sekadar buat lucu-lucuan atau memang ini sesuatu yang ada gunanya. Jika memang iya, sebenarnya masih harus dipikirkan kembali apakah memang ini penting untuk orang lain tahu selain kita,” ucap Meylani.
Tingkat kepentingan informasi juga harus diperhatikan. Sebelum dibagikan kita harus mempertimbangkan apakah informasi tersebut bersifat mendesak atau tidak. Maka kalau tidak terlalu mendesak lebih baik tidak dibagikan, harus sabar menanti informasi itu dibagikan.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKomInfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (29/7/2021) juga menghadirkan pembicara Ariyo Zidni (Pendongeng), Dera Firmansyah (Podcaster), Asep Suhendar (Kreator Konten), dan Deya Oktarisa (Key Opinion Leader).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.