Prinsip dalam berbudaya digital agar tetap menjadi warga negara Indonesia yang baik ialah dengan membangun budaya demokrasi dan toleransi. Budaya digital demokrasi terjadi karena penyebaran informasi telah beralih dari sistem konvensionalyakni distribusi sirkulasi media participatory model.
Masyarakat tidak lagi sebagai konsumen yang pasif tapi aktor yang ikut berperan aktif dalam membentuk menyebarkan bahkan mentransformasi berbagai informasi seorang yang demokratis dalam menyampaikan opini di era digital. Untuk menjalani budaya demokrasi, peran warga digital Indonesia jangan jadikan dunia digital sebagai alat penyebaran hoaks dan konten negatif.
Prinsip yang kedua dalam budaya digital itu budaya toleransi. Perbedaan itu indah dan penting di dunia yang pluralistik, harus terus bersatu di tengah perbedaa. Pedoman negara Bhinneka Tunggal Ika di era digital ini merupakan tantangan tersendiri untuk membangun dan memupuk persaudaraan dan persatuan tersebut.
Menggunakan ruang digital sangat rentan dengan godaan dan kampanye negatif. Pendidikan yang baik akan mengarahkan mereka untuk membuat pilihan secara bijak.
Chairi Ibrahim, CEO TMP marketing consultan mengatakan, awal demokrasi digital saat tahun 2006 kehadiran Kaskus. Di dalamnya terdapat BB17 dan Fight Club, semua orang dapat membuat konten tulisan pendapat.
“Namun yang saya lihat masyarakat yang berekspresi ini sudah kelewat batas karena tidak ada moderator akhirnya Kaskus pada tahun 2010-2011 Kaskus menutup BB17 dan Fight Club. Menghadirkan moderator untuk jadikan lebih terorganisir dan tempat menciptakan konten yang lebih baik,” ungkapnya di webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Senin (2/8/2021).
Namun yang terjadi sekarang semakin ke sini banyak momen yang justru memanaskan ruang digital. Seperti tahun 2016 momen Pilgub DKI, kemudian Pilpres tahun 2019 dan tahun 2020 saat pandemi Covid-19. Daya digital itu mengharuskan warganet untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap berita informasi yang diperoleh sebelum kita menyebarkan ulang.
Chairi mengaku, sangat malu dengan yang terjadi tahun lalu, saat warga digital Tanah Air disebut sebagai netizen yang paling tidak sopan se Asia Pasifik. “Klien saya orang Korea saat itu bertanya langsung, seburuk itukah warga Indonesia? Budaya seperti itukah yang terjadi sehari-hari. Saya jawab tidak, karena pada kenyataannya di dunia sehari-hari masyarakat tidak akan berani tidak sopan seperti itu. Kita tidak mungkin berani melontarkan kata-kata kasar di depan orang bahkan kita cenderung ramah terhadap siapapun,” jelasnya.
Hal ini membuktikan orang lain melihat kehidupan di ruang digital merupakan cerminan apa yang ada di kehidupan luar jaringan atau sehari-hari. Itulah yang belum dipahami masyarakat Indonesia saat berada di ruang digital, bahwa mereka membawa nama baik Indonesia saat sedang berselancar. Sikap demokrasi dan toleransi ini harus terus menjadi prinsip saat menjaga nama Indonesia.
Membangun budaya digital tentu bukanlah hal yang mudah, namun yang pasti bahwa transformasi digital menuntut komitmen kuat dari masing-masing individu dalam membangun budaya digital yang baik. Teknologi senantiasa berdiri di belakang perubahan radikal dan perubahan yang paling konstan dalam komunitas adalah change the culture mengubah budaya.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Senin (2/8/2021) juga menghadirkan pembicara Ari Budi Wibowo (Siberkreasi), Indriyatno Banyumurti (Ketua RTIK Sukabumi), Ismail Tajiri (Pengurus RTIK Sukabumi) dan Ida Rhjnsburger (Key Opinion Leader).