Salah satu bahaya hoaks yang terlihat adalah membuang-buang waktu. Bayangkan saja, jika kita sedang fokus beraktivitas, mengerjakan tugas, membuat laporan keuangan, mengedit video lalu tiba-tiba ada berita datang.
Seketika kita pasti akan teralihkan karena melihat judulnya yang bombastis sehingga pikiran kita terpecah, lebih fokus baca informasi itu dulu. Akhirnya kita tahu itu adalah hoaks, sungguh sudah membuang waktu bekerja.
Dampak lainnya yaitu pengalihan isu, itu yang tengah terjadi di Indonesia. Di tengah gencarnya pemerintah menggerakkan vaksin justru dengan adanya hoaks membuat masyarakat enggan untuk vaksin. Atau sedang pengobatan Covid-19 ada orang yang menyebarkan hoaks mengenai obat. Beberapa pasien tidak melanjutkan meminum obat dan akhirnya meninggal.
Hoaks yang ditemukan dalam satu tahun saja jumlahnya sudah ribuan. Ini sifatnya umum, ada juga orang yang hanya iseng untuk mengirimkan pesan-pesan tidak benar. Temuan hoaks pada periode 23 Januari 2020 – 14 Juni 2021. Temuan hoaks mengenai Covid-19 itu ada 1.642. Sebarannya di Facebook yang paling terbanyak 3.016 dan sudah tindak lanjut atau take down 2.674 dan yang masih dalam pengerjaan atau menindaklanjuti 342 hoaks.
“Sebenarnya mudah saja melihat hoaks itu yakni tampilannya menarik dan provokatif. Tampilan menarik maksudnya tulisannya lebih enak, mudah dibaca dan dengan warna yang jelas tapi tulisannya sangat provokatif memancing emosi juga sifat negatif. Biasanya informasi hoaks ini juga mencatut nama tokoh atau organisasi tertentu untuk meyakinkan pembaca juga memanipulasi foto,” ujar Eko Prasetyo CEO Syburst Corporation, sebuah perusahaan Software.
Infrormasi hoaks menggunakan argumen atau data supaya terlihat ilmiah walaupun sebenarnya data itu entah benar atau tidak atau hanya disangkutpautkan semata. Informasi itu juga selalu minta dibagikan atau diviralkan informasi tersebut.
Berbicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/8/2021) siang, Eko menjelaskan kategori hoaks ini juga ada mis informasi sebelum era digital juga banyak misinformasi yang berkeliaran. Sebuah informasi yang salah disebarkan oleh orang yang mempercayainya sebagai hal yang benar.
“Kalau dulu mungkin memang sulit untuk mencari tahu kebenaran kalau sekarang lebih mudah kita bisa Googling, mencari di media mainstream,” ujarnya.
Kategori hoaks menurut First Draft sebuah lembaga penangkal hoaks di Amerika Serikat, ada satir atau parodi yang tidak ada niat jahat namun bisa mengecoh. Seperti stand-up comedy yang ada di Podcast atau di TV.
“Sebenarnya tidak ada niat jahat namun bisa saja mengecoh jika rekamannya atau videonya dipotong sebagian, lalu didistribusikan itu bisa jadi mengecoh masyarakat. Misalnya ketika sedang bercanda membicarakan tokoh tertentu lalu dipotong sebagian hanya 30 detik dari 1 jam. Banyak yang akan terkecoh, kalau lucu tidak masaalah khawatir akan berdamapak negatif,” sambungnya.
False connection dan false context sering terjadi di media massa, artikel-artikel online judul berita berbeda dengan isi. Eko bercerita, baru saja terjadi yang menang olimpiade itu dapat mobil padahal inti beritanya, seandainya pemain atau atlet yang juara itu dibelikan mobil semuanya kira-kira mobilnya seperti apa. Begitu juga dengan false context disajikan dengan narasi konteks yang salah misalnya kontennya pemberitahuan tapi narasinya cerita itu juga salah.
Cara menangkal hoaks intinya memang hanya dua, emosi dan pola pikir positif. Selalu husnudzon atau berpikri positif dan tabayun, mencari tahu, informasi, mencari fakta yang sebenarnya bisa juga bertanya-tanya kepada yang ahli intinya mencari tahu kebenaran sebelum percaya atau membagikan.
Lalu kita juga harus memahami konteks, misalnya sedang membahas vaksin berarti harus tahu dulu vaksin itu apa jangan sampai tidak tahu apa-apa. Karena memang target dari hoaks adalah orang-orang yang tidak tahu tentang konteks. Untuk individu mulailah kebiasaan membaca, mendengar dari sumber yang benar ini cara-cara paling baik untuk menangkal hoaks.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/8/2021) siang, juga menghadirkan pembicara Ryzki Hawari (Attention Indonesian), Mario Devys (RTIK Indonesia), Bowo Suhardjo (Konsultan Bisnis), dan Clarissa Darwin sebagai Key Opinion Leader.