Ancaman keamanan digital saat ini menjadi perhatian dan kewaspadaan setiap orang dalam menggunakan internet. Ancaman keamanan adalah tindakan jahat dengan target meliputi data, sistem, dan jaringan organisasi dengan tujuan untuk mencuri, mengganggu, atau menghancurkan tager tersebut, hal tersebut dikatakan oleh Rinda Cahyana, RTIK Indonesia.
Pada jaringan bisnis, tindakan kejahatan seperti ini akan merugikan pihak penjual dan pelanggan. Ini disebabkan karena pelanggan akan merasa tidak dilayani dan memilih pindah ke pesaing.
“Seringkali juga kita dikirimi pesan yang mengaku dari perusahaan atau bisnis tertentu, padahal itu adalah penipuan,” ujar Rinda saat berbicara dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (10/8/2021).
Ancaman keamanan digital ini bisa bersumber dari dua hal, manusia dan mesin. Pada manusia biasanya terjadi kelalaian, seperti lupa log out akun pribadi ketika kita menggunakan komputer publik. Sementara itu, mesin ini bisa berisi agent software yang bekerja sendiri atau menggunakan kendali jarak jauh yang bertujuan untuk menghancurkan.
Rinda menjelaskan, dalam keamanan digital terdapat rekayasa sosial yang dipahami sebagai kegiatan manipulasi psikologis, yakni ketika seseorang menggunakan beragam media dengan cara untuk mempengaruhi pikiran korban atau menipunya secara halus. Pada rekayasa digital, korban hampir tidak menyadari bahwa data atau informasi penting lainnya diambil oleh pelaku kejahatan ini. Jenis-jenis rekayasa sosial dalam dunia digital ini terbagi menjadi lima.
Pertama, phising yang merupakan konten berisi harapan palsu bagi korban dan bertujuan agar calon korban memberikan informasi sensitifnya melalui link palsu. Biasanya phising terjadi dengan memberikan sebuah hadiah pada korban. Misalnya, korban mendapat SMS menang undian dari suatu institusi perbankan. Nantinya pelaku akan mencantumkan link yang digunakan untuk mencuri informasi korban.
Kedua, baiting yakni serangan malware, spyware, atau perusak lainnya kepada perangkat keras korban menggunakan bantuan Flashdisk atau USB lainnya. Pada jenis rekayasa ini, biasanya pelaku menggunakan umpan konten asusila yang dimasukkan ke dalam Flashdisk dan alat sejenisnya.
Ketiga, tailgating adalah menguntit individu untuk mendapatkan akses informasi sensitif atau organisasi seseorang. Ketika individu ini menggunakan akses Wi-Fi publik, si penguntit akan cepat-cepat meretas segala informasi pribadi korban.
“Jaringan Wi-Fi publik itu sebenarnya tidak aman, makanya kalau di ruang publik jangan buka data private karena bahaya,” tuturnya.
Keempat, scareware yakni penipuan yang mengelabui korban dengan menggunakan pop up atau program menampilkan informasi peringatan atau ancaman. Peringatan ini membuat korban merasa khawatir. Misalnya notifikasi adanya malware pada perangkat. Padahal keadaan perangkat kita sedang normal tanpa gangguan. Notifikasi ini hanya mengecoh korban agar mengklik link yang ada pada peringatan tersebut.
Kelima, quid pro quo yang biasanya menawarkan layanan survei dengan kompensasi sejumlah uang bagi yang mengisinya. Pada rekayasa ini, uang yang diberikan kepada korban benar-benar menjadi kompensasi atas data atau informasi yang diserahkan kepada pelaku, bukan data terkait hasil survei.
Oleh karena itu, peningkatan literasi digital bisa menjadikan kita lebih waspada terhadap berbagai jenis kejahatan atau ancaman yang terjadi di media digital. Serta selalu jaga informasi pribadi kita.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (10/8/2021) juga menghadirkan pembicara, Zacky Badrudin (Founder Visquares Digital Event Platform), Iwan Kenrianto (Founder Yuk Bisnis Kost), Dedi Junaedi (Sekreatris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Provinsi Jawa Barat), dan Aflahandita sebagai Key Opinion Leader.