Indonesia memiliki usia muda dan produktif yang banyak. Hal ini akan sangat bagus untuk menghasilkan generasi sumber daya manusia berkualitas. Tetapi permasalahannya, bagus tidaknya kualitas anak muda Indonesia itu tergantung dengan pendidikan yang mereka dapatkan.
Sudah banyak praktisi pendidikan mengatakan pandemi mengubah 100 persen wajah pendidikan Indonesia. Kita akan melihat 5-10 tahun mendatang hasil pendidikan saat ini seperti apa. Apalagi di generasi Z sangat aktif berinteraksi dengan dunia digital. Anak-anak di bawah 7 tahun juga sudah familier dengan gawai minimal main game di ponsel.
Ini membawa tantangan tersendiri bagi kita bagaimana perubahan dunia generasi yang tadinya sangat konvensional menjadi generasi digital. Namun tetap budaya Indonesia, adat istiadat yang kita dapatkan dalam keseharian. Budaya itu mengakar dan menjadi pondasi bagi kita sehingga menjadi bangsa yang besar, walaupun ada distorsi budaya.
Ketika kita semua masuk dalam keseharian bersama digital atau menjalani budaya digital, di dalamnya juga terdapat aturan yang harus kita jaga seperti kita berada di dunia nyata. Ada budaya yang harus tetap dipertahankan.
“Ketika berbicara dengan yang lebih tua harus sopan, tidak memanggil nama. Terbiasa mengatakan terima kasih dan lainnya yang menjadi budaya yang kental di dunia offline kita. Begitu juga seharusnya di dunia offline kita terapkan seperti itu, bukan berarti di dunia maya kita bisa bebas, justru harus tetap membawa kebiasaan di dunia offline tetap menjaga etika dan budaya dengan pegangan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,” Rizal Tanzil Rakhman, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia Nasional dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (16/8/2021).
Indonesia dulu terkenal paling toleran, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo (Negeri yang memiliki kekayaan alam berlimpah, aman dan tentram), silih asih silih asuh silih asah (saling menyayangi, saling membimbing, saling mencerdaskan), repeh rapih (rukun, damai, aman, dan sentosa). Banyak slogan kebudayaan yang melekat Indonesia sebagai negar besar namun dengan tingkat toleransi yang tinggi.
Rizal mengatakan di dunia maya Indonesia malah sering terjadi peristiwa yang seharusnya sudah tidak perlu lagi terjadi. Seperti penghinaan terhadap agama, ujaran kebencian, pernyataan sarkasme terutama di acara politik di Tanah Air.
“Masyarakat Indonesia seolah lepas dengan identitas yang dulu dimiliki sebelumnya, slogan-slogan dalam bahasa Jawa itu seperti sudah tidak berlaku lagi. Kini melalui media digital orang dengan mudah melakukan fitnah, menyebarkan berita bohong, bullying. Artinya kita memiliki pekerjaan rumah untuk tetap memegang norma etika dalam berdigital harus diajarkan kembali etika digital menjadi pembahasan setiap anak di zaman sekarang,” jelasnya.
Tidak sulit mencari literatur sosial untuk mengatur bermedia digital karena semua sila di Pancasila telah menjelaskannya. Sila pertama untuk toleransi dalam beragama, kedua untuk kesetaraaan sehingga tidak ada yang lebih berkuasa dalam hal apapun di dunia digital. Sila ketiga mengajarkan harmoni dalam hidup, berbeda namun selaras. Sila keempat mengajarkan demokratis, bagaimana menjunjung tinggi pendapat saling menghargai dan tetap tidak bisa semaunya. Terakhir sila kelima, nilai gotong royong sesuai yang mulai terkikis namun tetap untuk urusan berbagi dan membantu saudara-saudara sebangsa, masyarakat Indonesia masih juara. Dunia digital juga dijadikan tempat untuk bagaimana berbagi menjadi lebih mudah dilakukan.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (16/8/2021), juga menghadirkan pembicara Aaron O’Daniel (Kreator Konten Pendidikan), Aprida Sihombing (Dosen Institut Bisnis dan Komunikasi LSPR), Andi Astrid Kaulika (PT. Artha telekomindo), dan Rio Silaen sebagai Key Opinion Leader.