Apabila suatu konten bersifat lucu, kita akan tertawa atau paling tidak akan tersenyum. Jika konten berisi inspiratif positif maka akan timbul semangat baru yang akan menggerakan kita untuk bangkit. Namun berbeda jika sebaliknya postingan dengan kata kasar dan provokatif berbau SARA kita akan cemas, emosi bahkan stres. Ini sebenarnya sinyal dari tubuh kita yang mengatakan, kita harus stop membuka media sosial tersebut.
Rabindra Soewardana, penggiat media sosial yang juga director Radio Oz Bali memberikan contoh postingan yang patut diwaspadai yakni saat mengunggah foto-foto anak di media sosial. Para orang tua hendaknya tidak membagikan foto anak yang sedang mandi, bagi beberapa orang mungkin biasa saja apalagi anak balita yang masih sangat lucu. Tapi ternyata itu dapat berbahaya, foto anak sedang mandi apalagi jika bagian tubuh vitalnya terlihat dan dilihat orang yang salah yang memiliki gangguan seksual, bisa disalahgunakan dan menjadi target pelaku pornografi anak dan pedofil. Itu juga berlaku saat anak sedang ganti popok atau sedang menyelesaikan urusannya di toilet, biasanya kita abadikan untuk kenang-kenangan.
“Foto lain mengenai anak misalnya hal yang mempermalukan dia, menurut orang tua hal yang biasa atau malah lucu jika anak kita melakukan hal aneh atau memalukan. Namun belum tentu untuk anak di masa depannya, jika menurut kita foto yang akan diunggah dapat mempermalukan anak saat sekarang atau saat nanti mereka dewasa ada baiknya untuk tidak membagikan ke media sosial,” jelasnya di webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Subang, Jawa Barat, Rabu (18/8/2021).
Konsekuensi yang dapat ditimbulkan dapat berakibat jangka pendek ataupun jangka panjang. Saat anak masih balita tidak menganggap fotonya hal yang memalukan tetapi ketika beranjak dewasa segala dapat berubah. Bukan hanya orang tua mempertaruhkan kepercayaan mereka kita sebagai orang tua tetapi pada kasus yang lebih parah gejala depresi juga dapat terlihat pada anak-anak.
Media sosial juga kerap digunakan untuk mencurahkan segala isi hati, berkeluh kesah meluapkan emosinya, kekecewaan, kemarahan namun malah berujung menjadi kasus penghinaan atau mencemaran nama baik. Sebab ini ruang digital yang abadi apapun yang kita posting, jika emosi dan tidak sadar bisa jadi status kita sudah ada yang menangkap layar sehingga menjadi terekam selamanya dalam bentuk foto.
“Ketika secara psikis sedang terganggu, terguncang alangkah baiknya kita menjauhi media digital. Menenangkan diri dan lebih baik cerita kepada orang terdekat secara langsung dari pada cerita di media sosial,” tutunya.
Pahami bahaya yang mengintai jika kita marah-marah di media sosial, atau kita sedih. Meskipun bukan ancaman hukuman namun kita menjadi dikenal sebagai orang yang terlihat menyedihkan atau mengubah persepsi orang mengenai kita. Jejak digital yang akan berbicara di kemudian hari, apakah akan menolong atau menjerumuskan kita akibat postingan yang kita buat.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Subang, Jawa Barat, Rabu (18/8/2021) juga menghadirkan pembicara Chairi Ibrahim (Konsultan Marketing Digital), Muhammad Miftahun Nadzir (Universitas Muhammadiyah Malang), Ismail Tajiri (Ketua RTIK Kabupaten Sukabumi), dan Clarissa Darwin sebagai Key Opinion Leader.