Sebelum masuk era digital, ada era sentralisasi dimana orang mengkonsumsi informasi dari satu tempat, kesempatan untuk adanya berita bohong itu tidak ada. Karena untuk dapat tampil di satu media itu membutuhkan kurasi atau filterisasi yang layak dipublikasikan atau tidak. Cara berkomunikasi saat itu dengan cara mengajak atau agitasi.
Seiring berkembangnya zaman masuk dalam desentralisasi banyak provokasi mengajak dan bergerak. Biasanya orang akan melihat informasi di satu tempat seperti radio atau TV tapi cara mereka mengajak bergeraknya adalah ketika mereka pergi kemallataupergi ke sebuah tempat ada satu acara atau aktivitas di sana. Jadi mereka bukan hanya diajak tapi juga merasakan pengalaman baru dari produk yang pernah ditampilkan di iklan.
Indra Ilham Riady, pakar digital marketing menceritakan ketika masuk ke abad 21 ini era digitalisasi, era propaganda atau mengubah pola pikir. Maka, semakin berkembang zaman kita juga dipaksa untuk lebih pintar dalam mengkonsumsi informasi, tidak ditelan mentah-mentah lalu bagikan.
“Karena sebetulnya bahaya jika kita tidak tahu sumbernya tapi sudah dibagikan. Keuntungan di era ini walaupun era propaganda tapi kita dapat langsung menyatakan itu benar atau salah. Sederhananya kita dapat langsung mencari kebenaran terhadap sesuatu hal,” jelasnya.
Maka, sebagai karena kita sudah ada di era ini, maka gunakan kesempatan untuk mencari kebenaran terhadap segala sesuatu. Jangan jadi penyebar hoaks hanya karena kita malas mencari fakta sebenarnya.
Berbicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (19/8/2021), Indra pun menjelaskan dasar media digital itu ada tiga, owned media atau media milik kita seperti website, email, aplikasi, atau official chat account atau chatbot. Kedua, earned media atau media sosial, kita meminjam akun dari perusahaan media sosial yang sering menjadi tempat untuk menyebarkan informasi. Terakhir, paid media, media digital berbayar biasanya dipakai untuk jualan, untuk melakukan kampanye branding.
“Intinya bagaimana caranya kita untuk mengoptimalkan dari ketiga platform ini untuk menjadi komprehensif strategi marketing yang baik ditambah melihat karakteristik dari masyarakat Indonesia yang sangat beragam ini,” ujarnya.
Memang, Indonesia merupakan negara kepulauan digital, karena kita memiliki sangat banyak populasi ada 270 juta jiwa dengan beragam karakter sehingga terkadang membutuhkan clustering berdasarkan wilayah. Dengan mereka yang berada Kalimantan bagaimana berkomunikasi, dengan di Sumatera seperti apa tidak bisa disamaratakan. Bagi para digital marketer ini tentu menjadi tantangan tersendiri mengkolaborasikan media digital dan karakteristik masyarakat Indonesia.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Siberkreasi.
Webinar juga menghadirkan pembicara Muh Nurfajar Muharrom (Relawan TIK Indonesia), Matahari Timoer (Koordinator Literasi Digital ICT Watch), Silvia (Anggota the Entrepreneur Society), dan Clarissa Darwin sebagai Key Opinion Leader.