Budaya digital semakin memasuki kehidupan masyarakat hingga banyak perubahan yang terjadi. Perubahan itu yang disadari atau tidak oleh masyarakat itu sendiri. Berikut tujuh perubahan yang terjadi pada masyarakat yang ahrus segera disadari dan diubah.
Perubahan pertama, terlihat pada perilaku dan kebiasaan berubah misalnya yang terjadi di rumah. Suasana kebersamaan keluarga yang dulu dan sekarang sungguh jauh berbeda. Kalau dulu kumpul bersama saat di meja makan atau saat bersantai di saat malam hari. Bercerita tentang kegiatan sehari-hari sekarang mungkin bukan orang tua yang tidak peduli terhadap anaknya. Karena pembahasan yang seharusnya dibicarakan langsung sudah didiskusikan via WhatsApp baik japri maupun di grup.
Ira pelitawati Relawan TIK dan penggiat literasi menyebut, tidak tidak heran jika ada ungkapan gawai itu mendekatkan yang jauh tapi menjauhkan yang dekat, sehingga ketika sedang berkumpul setiap anggota keluarga sibuk dengan gawai mereka masing-masing.
Kedua, mengubah kebutuhan pokok, internet sekarang menjadi salah satu kebutuhan yang wajib dimiliki setiap keluarga saat ini. Terutama saat pandemi yang mengharuskan belajar dan bekerja dari rumah membuat aktivitas semua dilakukan menggunakan internet.
“Sekarang ada juga istilah sandang, papan, pangan dan kuota internet ditambah gawai. Sehingga ketika ada pilihan tertinggal dompet atau ponsel pintar kita sepertinya lebih baik ketinggalan dompet karena di ponsel pintar kita itu itu sudah tercakup semua yang dibutuhkan apalagi di era cashless sekarang ini,” ungkap Ira ketika berbicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Bandung, Jumat (27/8/2021).
Ketiga, bahasa dan cara berkomunikasi, anak zaman sekarang memiliki bahasa sendiri yang mungkin hanya mereka yang mengerti. Kosakata ini lahir ari media sosial mereka membuat status lalu tersebar dan seakan-akan menjadi sebuah bahasa atau kosakata yang patut untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebut saja, gabut, OOTD, gaje, bucin, savage, alay, baper, pansos, ambyar dan lainnya.
Keempat, budaya panik dan viral, viral biasanya lebih banyak karena hal yang negatif dikhawatirkan ini menjadi budaya selalu terulang di mana seseorang yang ingin menjadi kreator konten dengan banyak followers memilih jalan ini untuk terkenal.
“Belum lagi komentar yang tidak mengenakkan dikemas dalam kata-kata yang lucu itu sebagai bentuk sindiran. Kalau melihat ini saya seperti menganggap bahwa budaya digital masyarakat Indonesia itu seperti tergagap-gagap atau kaget melihat perubahan digital melihat arus informasi yang besar bagaimana mereka sangat canggung dalam menggunakan internet. Padahal sebenarnya bisa saja membuat konten itu untuk hal-hal yang lebih positif atau menghibur tidak harus serius atau formal seperti ada seorang kreator konten yang yang mengikuti make-up penyanyi Lesti yang baru menikah,” ungkapnya gemas.
Kelima, perundungan digital biasanya ini terdapat pada komentar di Instagram para selebritis yang memang sudah dicap jelek masyarakat. Padahal kita tidak pernah tahu aslinya seperti apa, seakan-akan benar yang dihembuskan. Atau seseorang yang tiba-tiba terkenal karena sebuah kasus, yang pertama netizen lakukan adalah mencari akun media sosialnya dan menyerang dengan kata kasar. Sebelum kita masuki ruang digital memang sebaiknya kita memeriksa hati kita dunia maya dan dunia luar jaringan itu sebenarnya sama kalau kita hatinya buruk kita juga senang membicarakan orang.
Keenam, lebih senang berkomentar fisik, sebaiknya itu tidak dilakukan, jangan pernah berkomentar mengenai fisik karena itu sudah masuk dalam pelecehan atau juga perundungan. Perundungan lain lainnya seperti intimidasi, pencemaran nama baik, mengganggu, tidak sopan, menyerang, menghina kekerasan, ancaman dan menyakiti.
Ketujuh, kekerasan berbasis gender online, sudah berubah moral yang dirasakan oleh masyarakat dengan mudahnya mereka mengumbar kemesraan di depan kamera lalu akhirnya berujung merugikan diri sendiri. Misalnya pasangan yang melakukan itu saat mereka sudah tidak berhubungan lagi, mantannya mengancam menyebarkan atau merasa sakit hati sehingga ingin mencemarkan namanya dengan cara disebarkan video.
Moral itu memang sudah berubah di masyarakat, mudah sekali mengancam menyebarkan segala sesuatu yang merugikan orang lain apalagi di dunia digital. Mudah sekali mempermalukan orang lain. Sayang sekali di Indonesia juga jarang korban-korban seperti itu untuk melapor padahal sebenarnya orang-orang yang mengancam dan menyebarkan foto-foto yang atau video yang tidak kurang pantas ini bisa dikriminalisasikan.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Siberkreasi.
Webinar juga menghadirkan pembicara Oktora Irahadi (Head of Communication Siberkreasi), Eko Prasetyo (Pakar Teknologi Informasi), Santia Dewi (Owner @limbackstore), dan Deya Oktarisa sebagai Key Opinion Leader.