Kita berada di revolusi industri ciri dari revolusi industri 4.0 bahwa hari ini ada spesialisasi dari kecanggihan teknologi informasi. Salah satunya, bagaimana koneksi internet atau media baru seperti internet itu menjadi sesuatu yang familiar populer dan hampir sebagian besar masyarakat menjadi pengguna aktif di dunia digital. Hal itu yang tidak bisa kita pungkiri bahwa 170 juta jiwa di Indonesia pengguna aktif internet, sebagai tanda hari ini kita sedang menghadapi revolusi industri.
Pada saat terjadi revolusi industri kita juga mengalami apa yang disebut dengan industrialisasi digital semua semua ditawarkan dengan cara yang baru apalagi di masa pandemi. Akibat pandemi ini juga menjadi sebuah gejala terjadinya percepatan digitalisasi kebudayaan, kita dipaksa oleh kondisi yang tadinya tidak terbiasa melakukan pembelajaran online, menggunakan Zoom meeting atau Google meet kini merupakan santapan setiap hari.
“Hari ini kita mau tidak mau dipaksa dalam aspek pendidikan, sosial dalam aspek agama juga termasuk dalam konteks ekonomi bagaimana hari ini muncul ruang-ruang baru yang disebut dengan marketplace atau profesi-profesi baru yang hadir dengan profesi-profesi baru,” ungkap Ridwan Rustandi, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung.
Sebagai pengguna aktif media sosial, kita diberikan asupan asupan informasi yang tentunya informasinya tidak hanya yang positif saja tetapi juga konten yang negatif. Karenanya ada ancaman mengintai salah satunya adalah bagaimana kita hari ini ini menghadapi perilaku kriminal secara digital atau cybercrime.
Diperkirakan hampir setiap 2 menit terjadi tindakan kriminal di Indonesia salah satu modus operandinya memanfaatkan ruang virtual untuk menyebarkan isu SARA untuk politik seseorang.Hal-hal lain yang bersifat ideologis, bagaimana konten-konten yang berbau radikal terorisme juga di inseminasi atau disebar melalui ruang digital ini merupakan ancaman-ancaman yang nyata.
“Belum lagi kalau kita tidak mempunyai proteksi diri, kita akan dehumanisasi digital. Kita ini manusia tetapi kadang-kadang kita ini seolah-olah disetting oleh teknologi oleh perangkat kita sendiri saat bangun tidur kita ada keharusan untuk membuka gadget. Satu keharusan untuk posting untuk menampilkan eksistensi kita lewat Story WhatsApp, Instagram dan lainnya. Kalau kita tidak punya atau memiliki proteksi diri yang kuat seolah-olah kita disetting oleh teknologi yang kita miliki termasuk dalam konteks bagaimana kita membangun citra atau identitas kita di ruang virtual,” jelasnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat Rabu (1/9/2021).
Semua di ruang virtual ingin menampilkan sebagai apapun di media sosial, bahkan kita bisa menampilkan identitas yang lain dalam diri kita atau bias identitas. Padahal itu tidak diperkenankan,sekalipun kita menghindar dari setiap internet yang hadir di perangkat kita itu memiliki IP address yang dapat menemukan kita di manapun.
Eksistensi kita mengalahkan kemanusiaan misalnya ada musibah yang masyarakat kita lakukan bukannya menolong tapi selfie di depannya. Lalu kita unggah ke media sosial agar kita terus eksis membuat konten yang menarik dan viral.
“Ini sebuah ancaman yang nyata kalau tidak diproteksi akan menjadi ancaman juga kita benar hidup di zaman era teknologi, teknologi kita tinggi kita canggih tapi kemanusiaan kita lemah ada istilah hi-tec low touch,” tutur Relawan TIK Kabupaten Bandung.
Maka dalam etika, bagaimana pentingnya memposisikan ruang virtual itu layaknya ruang nyata keseharian kita artinya berbicara sopan santun, norma sosial hukum dan sebaiknya sama saja saat kita berinteraksi di ruang virtual. Selain etika keamanan digital juga sangat penting untuk disadari para pengguna bagaimana mereka mengamankan perangkat digital mengamankan identitas waspadai penipuan digital memahami rekam jejak jejak digital memahami keamanan digital bagi anak.
Menyangkut keamanan berinteraksi secara digital ada dampak yang perlu kita pikirkan hari ini berkaitan dengan keamanan dan interaksi itu ancaman yang nyata. Bagaimana cyber bullying sesuatu yang mudah dilakukan apalagi oleh generasi digital saat ini.
Sering kali menyaksikan anak-anak remaja hari ini berinteraksi melalui media sosial tetapi tidak ada filter tidak ada etika dan keamanan digital tidak ada mereka saling caci saling ejek sehingga bisa jadi sesuatu yang berawal dari bercanda tapi pada saat diterima oleh lawan bicara dengan tidak dalam keadaan yang baik menjadi sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi.
Webinar juga menghadirkan pembicara Dera Firmansyah (Podcaster), Bowo Suhardjo (Konsultan Bisnis), Erri Gandjar (General Affair Director Radio Oz Bali), dan Clarissa Darwin sebagai Key Opinion Leader.