Informasi adalah rangkaian kata, kalimat, gambar, atau tanda tulis lainnya yang mengandung buah pikiran maupun pengetahuan yang dapat digunakan oleh pemimpin dalam membuat keputusan yang tepat berdasarkan fakta.
“Informasi ini diharapkan relevan, akurat, bermanfaat bagi penerima, dan mengacu pada fungsi informasi itu sendiri yang mampu meningkatkan pengetahuan bagi pemberi dan penerima informasi,” jelas Bentang Febrylian, Pemeriksa Fakta Senior Mafindo saat menjadi pembicara dalam webinar Literasi Digital, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis, (1/9/2021).
Sementara itu, Bentang menjelaskan bahwa hoaks merupakan informasi palsu atau bohong yang dibuat seakan-akan benar. Hoaks mulai digunakan sekitar tahun 1808 dan memiliki arti mengelabui. Berdasarkan survei Mastel tahun 2019, ragam bentuk hoaks yang sering diterima dan cukup mendominasi yaitu teks sebesar 57,9%, foto sebesar 37,5% dan video sebesar 0,40%.
“Seiring dengan perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi, aplikasi edit foto dan video bisa dilakukan di manapun termasuk melalui telepon genggam. Ini memicu ragam bentuk hoaks yang semakin banyak,” ungkap Bentang.
Dengan kecanggihan teknologi, saat ini hoaks dikemas dalam beragam bentuk, seperti foto editan, foto dengan caption palsu, video editan, video yang dipotong, serta video lama yang dimunculkan kembali.
Konten hoaks yang menyebar bisa menyebabkan gangguan informasi berupa misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Misinformasi ialah kabar atau informasi palsu yang tidak sengaja disebarkan kembali tanpa motif tertentu. Disinformasi ialah kabar palsu yang sengaja disebarkan dengan tujuan tertentu. Malinformasi ialah kabar benar namun disisipkan isu-isu sara dan memiliki motif tertentu.
Gangguan misinformasi dan disinformasi ini terbagi ke dalam 7 jenis, yaitu satir, konten menyesatkan, konten tiruan, konten palsu, koneksi yang salah, konten yang salah, konten yang dimanipulasi.
Bentang memaparkan, salah satu cobtoh kasus hoaks yakni UNESCO yang menyatakan bahwa Islam adalah agama paling damai di dunia. Namun, pada kenyataannya pernyataan tersebut tidak pernah dibuat oleh pihak UNESCO. Selain itu, masyarakat juga sering terjebak dengan info lowongan palsu yang beredar di internet.
Akibat dari penyebaran hoaks ini dapat memicu perpecahan, membingungkan, memicu ketakutan, membuat fakta sulit dipercaya, menurunkan repotasi, dan memakan korban jiwa. Misalnya, hoaks ini membingunkan karena orang bisa mempercayai sebuah informasi hanya dengan alasan kedekatan emosional.
Untuk itu, cara membedakan informasi asli dan hoaks dapat dilakukan pertama dengan memperhatikan urlnya, situs asli bukan berupa blogspot dan sebagainya. Kedua, memastikan judul dan isi berhubungan. Ketiga, memeriksa foto dan video. Terakhir, teliti juga sumber asli informasi tersebut dan bandingkan dengan informasi serupa pada sumber lain. Bentang mengatakan, kita juga bisa memanfaatkan platform pengecekan hoaks seperti turn back hoaks.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Billy Kwanada (Wakil Ketua Bidang Pengembangan Bisnis GEKRAFS Jawa Timur), Muhammad Arifin (Kabid Komunikasi Politik RTIK Indonesia), Aldi Wicaksono (Dosen-Entrepreneur-Digital Trainer), dan Ribka (Key Opinion Leader).