Sebagai warga negara Indonesia, kita sepatutnya sadar harus berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahasa Indonesia sendiri memiliki sejarah tersendiri jauh sebelum Indonesia merdeka.
Aef Saefullah seorang penyuluh bahasa di Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat menceritakan di dalam teks Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 8 Oktober 1928 bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa persatuan. Bulatan semangat ini sebelum hadirnya negara Indonesia selain itu ada kemauan bersama dan juga demi menghindari perseteruan dengan bahasa yang sengaja diciptakan ini.
“Jadi bahasa Indonesia ini bertujuan sebagai sarana perhubungan sosial untuk hidup damai dalam hal hubungan sosial. Terlebih dapat digunakan khususnya di era digital sekarang ini. Bibit-bibit kekerasan verbal, seperti yang kemarin ramai di perbincangkan di Twitter perundungan verbal terjadi di perkantoran resmi komisi penyiaran. Kekerasan verbal yang terjadi di media sosial juga berpotensi memunculkan konflik sosial bisa saja bisa sampai menjadi sebuah tawuran,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 Kabupaten Karawang, Jawa Barat Jumat (3/9/2021).
Konflik atau tawuran bukanlah sebuah solusi mengatasi masalah karena kita ketahui bersama tradisi, bagaimana dialog mediasi dan juga negosiasi yang sebenarnya harus dilakukan. Dengan segala kekhawatiran, segala macam bentuk konflik akan membangun budaya, membangun peradaban yang sangat tidak baik.
Jika lebih banyak konflik-konflik di dalam, kita harus sadar akan persaudaraan dan rasa percaya. Apakah kita akan kembali seperti dahulu menurut saja pada apa yang disampaikan oleh mereka yang berpengaruh? Inilah yang selanjutnya banyak menimbulkan istilah seperti pamali, mitos-mitos, takhayul, legenda dari sana kita harus berpikir akan ada kejanggalan yang tidak dapat dipercaya.
“Kebiasaan-kebiasaan ini kalau kita melihat sebuah unggahan atau informasi itu bahkan ocehan pribadi dari orang-orang di media sosial jangan lantas kita abaikan khawatirnya lama-kelamaan akan dianggap suatu kebiasaan. Bagaimana jika hal itu adalah sebuah tindakan perundungan, pencemaran nama baik atau penghinaan atau makian yang lainnya? Khawatirnya menjadi sebuah budaya menjadi sebuah kebiasaan yang yang dianggap biasa saja,” jelasnya.
Kebiasaan itu harus kita pantau dengan adanya berita atau kasus yang ramai diperbincangkan yang sedang trending kita jangan terburu-buru menanggapi dan menyebarkannya secara sembrono. Jadi harus dipikirkan baik-baik, pahami dengan jeli dan harus menaruh rasa curiga apalagi pada berita yang terdengar begitu wow mengejutkan.
Aef mengingatkan, kita harus berfilsafat apapun yang terjadi di dunia ini saat ini atau menelaah mencari tahu mempelajari suatu kejadian dengan informasi yang muncul di media sosial. Dengan cara harus cari sumber lain, bila perlu datang langsung ke lapangan walaupun sangat tidak mungkin dilakukan pada zaman sekarang pada manusia instan yang hanya ingin disuapi.
“Perlu kehati-hatian, kita memasuki era fakta-fakta bersaing dengan hoaks untuk dipercaya. Masyarakat zaman sekarang lebih senang mencari pembenaran ketimbang kebenaran. Kesadaran penuh sehingga mencapai teori yang logis kita akan menumbuhkan mana yang fakta mana yang bohongan,” tuturnya.
Aef mengaku kini dia terkejut, saat kini bekerja di bidang bahasa, kuliah di jurusan bahasa tidak akan menyangka kalau harus berurusan dengan hukum-hukum. Dia mengira hidupnya tidak jauh dari KBBI dan kamus bahasa lainnya. Kesibukannya bukan hanya membuat jurnal atau opini di media massa atau penyunting buku kini seorang ahli bahasa itu dibutuhkan untuk membantu mengungkap sebuah tindak pidana di dalam persidangan karena berhubungan dengan bahasa kasar di media sosial, pencemaran nama baik dan kabar hoaks. Dia berpesan, gaungkan tuturan dan konten-konten positif agar konten negatif itu bisa tertutup, dimulai dari kita harus benar-benar sadar cara berbahasa kita.
Webinar juga menghadirkan pembicara Idul Futra (Digital Marketing Specialist), Soni Mongan (Kreator Konten), Santia (pebisnis online) dan dr.wafika Andira sebagai Key Opinion Leader.