Ketika warganet berhubungan dengan internet di situ ada jejak digital. Ini harus kita sadari dan jaga agar nantinya dapat lebih berhati-hati dalam bermedia digital. Jejak digital sendiri adalah bekas data yang tertinggal dan tersimpan di internet. setelah kita mengakses internet aktivitas digital.
Jadi memang jejak digital itu cukup banyak, sebanyak aplikasi yang kita unduh di gadget. Bahkan hampir seluruh aktivitas yang kita lakukan setiap harinya berhubungan dengan aplikasi.
Jejak digital meliputi setiap posting-an di media sosial, aplikasi yang diunduh, upload sesuatu di aplikasi situs web yang dikunjungi, musik online yang diputar di aplikasi streaming. Apa saja yang sudah dicari di mesin pencarian, tontonan YouTube, game online yang dimainkan, jalur ojek online hingga pembelian di market online. Informasi cyber bersifat permanen sehingga kita harus berpikir kritis sebelum posting.
“Apapun yang sudah di ruang siber mudah diduplikasi dan disebarluaskan tapi sulit dilenyapkan sekalipun sudah dihapus. sudah banyak contohnya yang terjadi mereka yang viral itu juga sebenarnya sudah menghapus apa yang sudah disebarkan tapi apapun yang sudah tersebar akan tetap ada sampai kapanpun,” ujar Novi Hidayati Arsari, dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (16/9/2021).
Menyangkut data pribadi juga kita tidak boleh sembarangan meng-upload sertifikat vaksin apalagi KTP semua data diri lengkap. Itu tidak untuk dipamerkan cukup disimpan saja. Selanjutnya yang harus diwaspadai adalah lingkungan terdekat kita. Ketika berinteraksi kenali dengan siapa kita berbicara batasi diri untuk tidak gegabah membagi informasi.
“Sekarang ada istilah cepu yakni mereka yang termasuk dalam teman dekat tapi tetap membocorkan rahasia. Ya memang tidak sepenuhnya semua kesalahan dari cepu itu. Tapi diri sendiri yang terlalu bebas berbagi hal-hal yang pribadi. Perlu diingat circle terdekat kita belum tentu bisa menjaga rahasia atau meng-keep posting-an kita,” lanjutnya
Maka, daripada mem-posting permasalahan atau hal-hal yang sensitif lebih mengunggah hal positif. Jangan hanya karena demi konten, kita berbangga mem-posting hal buruk seperti cyberbullying, menghasut, ujaran kebencian atau bahkan rasisme di media digital. Untuk melawan hal-hal atau konten negatif harus bisa membuat lebih banyak konten-konten positif.
“Coba saja kita kita mengetik nama kita di Google, apa saja yang keluar bisa jadi zaman kita alay. Saat masih muda, sebenarnya itu bisa tertutupi dengan masa sekarang kita yang membuat konten-konten yang lebih positif, lebih baik, lebih dewasa sehingga konten-konten alay kita di masa lalu bisa tertutupi,” tutup Novi.
Webinar juga menghadirkan pembicara Michael syukrie (Videografer Underwater), Dian Nurawaliah Sonjaya (founder malesha Skincare), Littani Watimenna (Brand &Communication strategist), dan Kila Shafia sebagai Key Opinion Leader.