Transformasi teknologi itu berdampak bagi perkembangan pesat dunia media. Di satu sisi media menjadi ujung tombak kemajuan siswa namun di sisi lain media menjadikan manusia sebagai komoditas.
Adi Tahir Nugraha, Wakil Kepala Madrasah Tsanawiyah PPI 3 menyebutnya kematian pakar karena kini semua serba ada di mesin pencarian.
“Saat seseorang ingin mencari sesuatu bukannya mencari kepada seorang pakar, namun dia membuka mesin pencari di internet untuk bertanya mengenai hal itu. Di ruang digital sudah tersaji semua informasi yang diinginkan. Sehingga para pakar ini seperti sudah tidak ada lagi fungsinya karena semua sudah ditangani oleh digital,” jelasnya saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (24/9/2021).
Kebudayaan berdiri di tengah zaman post truth, era masa yang semakin susah mengais kebenaran sejati kecuali informasi yang jauh dari jejak fakta objektif. Sehingga dampak dari digitalisasi itu seperti nampak terlihat yakni merebut posisi manusia sebagai produsen budaya, manusia merasa hidup dalam kekosongan makna. Ini dampak yang sebenarnya dapat disiasati banyak orang yang mengatakan kemajuan teknologi ini bisa mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi jika tidak terfilter itu akan sangat mengancam bagi gagasan anak muda.
“Mereka menjadi orang yang kosong moral, adab, akhlak. Padahal itu bukan salah medianya namun tinggal bagaimana manusianya yang mencerdaskan atau mengkampanyekan internet sehat literasi digital dan sebagainya,” ungkapnya.
Lalu dampak dari digitalisasi lagi, tidak semua orang mampu menyelami hidup yang begitu cepat berubah sehingga sekarang kita masih melihat adanya gap antara mereka yang sangat hi-tech dan mereka yang gagap teknologi. Kemudian terlihat jelas di ruang digital adanya fakta versus fenomena hyper realitas seperti yang cepag viral justru biasanya informasi hoaks.
Webinar juga menghadirkan pembicara Virginia Aurelia (owner divetolive.id), Aprida Sihombing (dosen Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR), Yoseph Hendrik (dosen IT Sekolah Tinggi Tarakanita), dan Ribka sebagai Key Opinion Leader.