Perkembangan komunikasi digital memiliki karakteristik komunikasi global yang melintasi batas-batas geografis dan batas-batas budaya. Sementara setiap batas geografis dan budaya juga memiliki batasan etika yang. Setiap negara bahkan setiap daerah memiliki etika sendiri, begitu pula setiap generasi memiliki etika sendiri.
Misalnya generasi milenial dengan generasi Z pasti memiliki perbedaan perbedaan etika. Apalagi dengan generasi terdahulu, begitu juga di ruang digital ada etika yang harus kita lakukan. Kita harus gali, bagaimana caranya beretika di dunia digital.
Sebab, di dunia digital ada ruang lingkup etika. Tia Muliawati, guru SMKN 1 Cibadak menjelaskan tak ada empat ruang lingkup etika digital yakni pertama kesadaran. Bagaimana sadar mem-posting sesuatu, beberapa remaja sekarang senang memposting teman sedang tidur misalnya dia dalam posisi yang tidak bagus.
Lalu apakah sudah sadar apa yang akan terjadi nantinya. Bisa saja dia marah, malu, keluarganya juga tersinggung atau lainnya. Selanjutnya di dalam ruang digital juga ada integritas atau kejujuran.
“Jadi kalau kita mengunggah sebuah karya itu dapat dicek dahulu ada hak ciptanya atau tidak. Bebas untuk dibagikan atau harus izin kita sebaiknya mencari tahu terlebih dahulu. Ini penting menyangkut dengan kejujuran konten di media digital kitayang mungkin saja kerap diapresiasi oleh orang lain dalam bentuk. Sehingga jika memang itu karya kita memang patut untuk dihargai,” jelasnya saat menjadi pembicara dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Senin (27/9/2021).
Selanjutnya, kebajikan nilai-nilai kebaikan harus ada dalam setiap postingan di ruang digital. Jangan sampai nilai-nilai kebajikan itu tidak ada malah yang ada sebuah konten yang dapat berdampak negatif bagi yang melihat. Terakhir adalah bagaimana tanggung jawab dari setiap pengguna internet mereka bertanggung jawab dengan apa yang diposting atau apa yang kita komentari.
Berbicara mengenai konten negatif merupakan informasi dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik. Pemerasan, pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian pengguna internet.
Konten negatif yang paling banyak hadir saat ini adalah hoaks atau berita bohong atau kabar palsu. Seringnya hoaks memanfaatkan masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan atau awan dalam mengelola informasi.
“Makanya, untuk mengolah informasi dibutuhkan literasi digital adalah agar pengguna internet ini lihai dalam mengelola informasi yang datang sangat banyak setiap saat. Agar kita tidak menjadi korban hoaks dan juga tidak menjadi penyebaran dari berita bohong itu,” tuturnya.
Setelah hoaks yang paling banyak terjadi di dunia maya khususnya para netizen Indonesia adalah cyber bullying atau perundungan di dunia maya merupakan tindakan agresif dari seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain yang lebih lemah secara fisik maupun mental dengan menggunakan media digital. Tindakan ini bisa dilakukan terus-menerus oleh yang bersangkutan korbannya bisa mengalami depresi mental. Perundungan sering kita temui di dunia maya dan ini merupakan masalah serius bagi kesehatan dan keselamatan para pengguna internet.
Maka dari itu untuk mencegah perundungan kita tidak terlalu membuat hal-hal yang dapat langsung viral dan menjadi bahan omongan di masyarakat. Hal ini hal ini dapat menghindari dari pembullyan. Over posting juga termasuk membuat akan ada saja komentar negtif yang mungkin hanya niat iseng semata. Maka, penting untuk menyadari konten negatif sehingga kita tepat mencegahnya.
Webinar juga menghadirkan pembicara Anthony Sudarso (CEO First Class Properti), Chairi Ibrahim (Digital marketing consultant), Nono Juarno (Ketua Program Kompetensi Keahlian Multimedia SMKN 1 Cibadak), dan Sari Hutagalung sebagai Key Opinion Leader.