Etika digital merupakan salah satu implementasi dari budaya digital yang menyatukan antara mentalitas dan kesiapan menghadapi dunia digital. Istilah etik atau etika sudah tidak asing lagi bagi manusia. Sudah dari zaman Romawi etik ini sudah hadir, Aristoteles membagi pengertian etika menjadi dua yaitu terminius technikus dan manner and custom.
Terminius technikus merupakan etika yang dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari suatu problema tindakan atau perbuatan manusia. Manner and custom suatu perubahan pembahasan etika yang berhubungan atau berkaitan dengan tata cara dan adat kebiasaan yang melekat dalam kodrat manusia.
Jadi sebenarnya apa saja kode etik dalam media sosial sesuai dengan nilai etika yang yang menjadi identitas sebagai bangsa Indonesia.
Faizal Rizqi Sawalludin seorang guru Agama Islam mengatakan, etika digital dapat dikaitkan dengan sebuah landasan dalam agama Islam. Para ulama menyebutkan mengganti sesuatu yang baru dan mempertahankan sesuatu yang lama yang mungkin masih relevan dengan sesuatu yang sedang kita jalani saat ini.
“Nilai-nilai digital etik ini ini adalah nilai lama yang memang harus kita pertahankan untuk memfilter kode etik dalam menggunakan media sosial. Kode etik itu adalah informasi privasi, bebas bullying, berita hoaks, kejahatan cyber, menggunakan bahasa yang baik, menjauhi tindakan asusila dan menghargai kekayaan intelektual,” jelasnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (04/10/2021).
Faizal menjelaskan kode etik tersebut seperti privasi ialah kemampuan satu atau kelompok individu untuk menutup atau melindungi kehidupan dan urusan personalnya dari publik. Kita mengenal istilah privasi ini kalau dalam istilah agama Islam dengan menutupi aib atau informasi privasi. Jadi dalam bermedia sosial kita seringkali membagikan suatu hal yang tidak pantas untuk dibagikan untuk dilihat banyak orang. Harus paham mana aib kita yang tidak pantas untuk dibagikan.
Dunia digitalisasi itu tentunya idealnya bebas dari bullying yang bisa terjadi di media chatting, media sosial hingga game online. Cyber bullying ini biasanya ditunjukkan untuk menakut-nakuti, menyulut emosi, mempermalukan orang di depan publik. Masyarakat sekarang sudah tidak lagi mengenal batasan batasan dari cyber bullying.
Kemudian, berita hoaks sudah banyak beredar di masyarakat, bahkan banyak berita tidak rasional yang terus disebarluaskan oleh masyarakat. Kode etik bermedia digital lainnya adalah kejahatan cyber, bagaimana seseorang yang berperilaku sesuai etika dengan menjaga dirinya di ruang digital. Tidak mempercayai penawaran penawaran yang datang juga melindungi perangkat juga akun media digital.
Selanjutnya menggunakan bahasa yang baik nilai-nilai etika tidak tertulis pada umumnya dan tidak mengikat secara.
“Oleh karena itu apabila terjadi pelanggaran maka tidak ada sanksi yang bisa diberlakukan. Sanksi yang pada umumnya adalah sanksi sosial seperti dikeluarkan dari grup, mendapatkan, dislike, mendapat, teguran atau masukan dari orang lain,” ungkapnya.
Jadi ketika komentar atau mem-posting sesuatu diperhatikan bahasa yang kita gunakan jangan sampai akibat salah kita dijauhi oleh warga digital lainnya atau bahkan mendapat perundingan yang diakibatkan oleh perilaku kita sendiri.
Menjauhi tindakan asusila, Faizal mengatakan, anak muda usia 18-29 tahun memiliki peluang yang besar menjadi korban pelecehan. Dari sekitar 25% mengatakan mereka menjadi target pelecehan seksual dari sementara 66% pelecehan dari yang berasal dari aplikasi sosial media di situs internet dan 20% berasal dari kolom komentar.
Kita harus bersama-sama menjadikan kembali etika adalah identitas kita khususnya sebagai masyarakat Indonesia kita harus menegakkan nilai-nilai etika.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Ridwan Rustandi (dosen UIN Bandung), Aidil Wicaksono (Managing Director Kainzen Room), Rabindra Soewardana (Direktur Radio Oz Bali), dan Rio Silaen sebagai Key Opinion Leader.