Hoaks berhubungan dengan etika digital. Menurut Tim Hendrawan, Creative Director, etika ini pada hakikatnya mengajarkan tentang apa yang baik dan buruk. Di tengah teknologi yang semakin maju, jangan sampai etika kita justru yang menjadi mundur.
“Transformasi digital termasuk etika karena mengarah ke mindset. Ketika kita sudah tahu etika mana yang benar dan tidak. Kita bisa menerapkannya dan mengadaptasinya di dunia digital ini,” tutur Tim dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kota Cimahi, Jawa Barat, Kamis (07/10/2021).
Ia melanjutkan, di dunia digital ini kita harus bijak dan memfilter apapun. Jangan sampai asal sharing informasi tanpa mengetahui kebenarannya. Karena menurut survey KIC, hampir 60% orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses internet. Saat ini, banyaknya berita justru membuat bingung pembaca, terutama terkait kebenarannya.
Hoaks atau informasi bodong adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar dan dibuat seolah-olah benar adanya. Kita sebagai pengguna harus aware bahwa tidak semua yang ada di internet itu benar. Konten-konten yang beredar di internet juga ada yang tidak bisa dilacak kebenarannya. Konten hoaks yang tidak bisa dilacak ini umumnya bersifat pribadi, seperti pada grup WhatsApp.
Tim menuturkan, agar tidak mudah termakan hoaks, tentu kita harus menjadi netizen yang pintar. Ketika kita mengakses internet, kita perlu mengetahui cara menggunakannya, termasuk memiliki mindset untuk tidak mudah percaya atas segala informasi di dalamnya. Karena, saat mendapatkan informasi di internet, kita perlu memastikannya kebenarannya terlebih dahulu dengan mencari berita serupa, mengecek kredibilitas sumber, dan membaca kesesuaian dari judul hingga isi berita. Di samping itu, ketika berita sudah dipastikan valid, tidak bisa langsung disebar. Sebab kita butuh mempertimbangan manfaat dan tingkat kepentingan berita tersebut.
“Jangan sampai kita membagikan sesuatu yang kurang tepat bahkan tidak ada manfaatnya bagi orang lain,” jelasnya.
Media sosial sebagai salah satu media informasi dan interaksi juga belum tentu terpercaya. Ungkap Tim, satu sumber itu tidak cukup dan harus digali lagi ke sumber lainnya. Gunanya juga agar kita memiliki perspektif berbeda dari sebuah pemberitaan.
Ia menjelaskan, dalam berita hoaks juga banyak beredar kampanye hitam. Umumnya berisi berita yang ditujukan untuk merusak atau mempertanyakan reputasi seseorang dengan mengeluarkan cerita negatif. Tujuan lainnya untuk mempengaruhi pendapat dan tidak menyampaikan informasi secara objektif.
Untuk membedakannya, berita hoaks lebih mengandalkan kalimat persuasif seperti sebarkan atau viralkan. Judulnya kebanyakan bersifat provokatif. Kemudian, berita hoaks merujuk pada kejadian dengan istilah seperti kemarin atau minggu lalu, tidak ada tanggal pasti, serta lebih menonjolkan opini seseorang dibandingkan menampilkan fakta.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Oktora Irahadi (Head of Communication Division Siberkreasi), Agustus Fajar Senjaya (Kepala Bidang Penyelenggaraan E-Government), Aidil Wicaksono (Managing