Terdapat dua industri yang penggunanya sangat besar sekarang di dunia yaitu industri obat-obatan terlarang dan perangkat lunak. Pemahaman sepintas menyebut bahwa jika pengguna atau pemakai ini memberikan efek candu dari internet dan narkoba yang sepertinya sama meskipun berbeda bentuknya.
Mu’ammar, dosen UIN SGD Bandung dimaksud dengan candu dalam media digital adalah berapa lama kita tahan untuk tidak membuka aplikasi WhatsApp ketika ada notifikasi. Dalam sebuah dokumenter film ‘The Social Dilemma’ diceritakan, bagaimana dilema dalam media sosial. Apa yang dianggap kemajuan tapi dalam sisi-sisi filosofis atau pemaknaan hidup malah mengalami distorsi, disorientasi, dislokasi dan degradasi.
Ruang dan waktu berubah, kita ketika masuk dalam ruang digital sudah menjadi netizen bukan hanya citizen atau villagers. Berbagai inovasi yang terjadi sehingga saat ini kita bisa mengerjakan apapun dengan lebih cepat dan waktu yang tersisa bisa digunakan untuk mengerjakan hal lain.
“Perubahan lain, bagaimana kini seseorang bisa mengalami keterasingan dan cukup untuk menikmati bagaimana mereka menjadi asing. Ada budaya narcissism, egophillia, narsistik merupakan gejala alamiah proses penempatan ruang dan waktu itu yang menjadi persoalan. Ada juga rasa kebahagiaan kebahagiaan yang semu. Anak zaman sekarang melihat kebahagiaan itu seperti di Instagram, Bagaimana mesin dalam diri kita menginput untuk menghasilkan tetapi terlanjur untuk melihat keluar bahwa kebahagiaan itu sebenarnya terbentuk dari metabolisme jiwa dan diri kita,” jelasnya saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (26/10/2021)
Melihat internet dengan segala fungsinya, dengan dialektikanya yang mungkin memberikan hal-hal yang terkesan menakutkan menyeramkan, orang jadi berkonflik. Paradoks media sosial lainnya, ada istilah kini sudah tidak ada lagi kepakaran. Sudah tidak ada lagi identitas ini karena banyak yang tiba-tiba ilmuwan mendadak, ustadz tiba-tiba.
Sebuah hal yang seolah bukan masalah. Namun ternyata adalah masalah yang beranak-pinak masalah lainnya. Memicu ghibah pertengkaran salah paham, segregasi sosial, friksi lintas mazhab, perpecahan keluarga karena beda pilihan presiden dan lainnya.
“Sebelum ada teknologi TV, masyarakat Indonesia belum pandai menonton TV lalu sudah ada internet. Jadi seperti melompat, ada semacam gap sosial, gap psikologi,” tutupnya.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Lucia Palupi (Praktisi Event Online), Nurrul Baety Tsani (Relawan TIK Jawa Barat), Chairi Ibrahim (CEP TMP Event), dan Tresia Wulandari sebagai Key Opinion Leader.