Sering kita mendengar soal kecerdasan manusia itu bukan hanya dia harus pintar otaknya, bagus dalam hal akademis. Namun terpenting juga bagaimana seseorang harus memiliki mental tangguh.
Pandemi Covid-19 mempercepat transformasi digital bukan hanya di teknologi informasi saja tetapi ada sebuah adaptasi kebiasaan baru di masyarakat. Memasuki adaptasi kebiasaan baru itu sendiri sebenarnya merupakan sebuah hal yang baik bagi seseorang jika kognitif diversity atau kemampuan memaknai perbedaan dapat dikelola dengan baik. Jika tidak dapat mengelola dengan baik dia akan berakhir kepada distruktif atau kehancuran.
Cara mencegahnya ialah dengan kolaborasi secara kognitif, memaknai kolaborasi sesungguhnya banyak caranya. “Jepang sudah menyadari perkembangan atau perubahan teknologi itu tidak lepas dari perkembangan dari manusia itu sendiri. Oleh karena itu Jepang mengatakan hadirnya society 5.0 yang berfokus pada manusia,” ungkap Bambang Iman Santoso, CEO Neuronesia Learning Center Indonesia saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021).
Kemampuan digital menjadi basis utama karena berpengaruh pada pilar-pilar yang lain seringkali tidak dianggap etis bukan karena niat yang negatif. Tetapi karena tidak terampil seringkali juga secara tidak sadar dia membahayakan keselamatan dan keamanan diri juga data pribadi milik keluarga sekitarnya bahkan orang lain yang tidak dikenal. Begitu pula dengan nanti digital culture esensinya ialah mempermudah.
“Tetapi diingatkan kembali digital adalah alat yang mempermudah namun digital bukan segalanya manfaat digital memang sangat banyak sekali tetapi kita harus waspadai efek negatifnya sehingga kita bisa meminimalisir risiko,” tutupnya
Webinar juga menghadirkan pembicara, Lucia Palupi (Praktisi Event Virtual), Mario Devys (Relawan TIK Indonesia), Stefany Anggraini (Influencer), dan Rio Silaen sebagai Key Opinion Leader.