Menurut Hootsuite, pengguna sosial media di Indonesia itu diisi oleh para usia produktif dan remaja, usia 18-34 tahun sebesar 64,8% atau sebanyak 178,1 juta. Secara ekonomi, pengguna ini secara memiliki potensi besar tapi juga berbahaya terhadap dampak negatifnya. Salah satunya adalah cyberbullying menjadi isu yang sebenarnya banyak terjadi terutama di usia-usia tersebut.
Perudungan dunia maya ini terjadi bisa media sosial game online dan lain-lain. Tujuannya untuk menakuti, membuat marah atau mempermalukan target.
Aditianata, dosen Universitas Esa Unggul menjelaskan, jika dulu perundungan itu dilakukan secara langsung. Misalnya, mengomentari bentuk badan dan dilakukan oleh orang yang berani atau merasa berkuasa.
“Kalau sekarang pem-bully itu bisa dilakukan oleh siapa saja bahkan anak dibawah umur itu bisa membully orang yang lebih dewasa. Siapa saja dapat menjadi pelaku dan siapa pun bisa menjadi korban,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (29/10/2021).
Menjadi korban bullying itu memang bisa dialami oleh siapapun. Petinggi negara hingga tokoh yang biasanya dihormati pun tidak luput dari serangan netizen tidak bertanggung jawab ini. Kemudian di era digital, jika dulu ada kejadian bullying, yang tahu hanya orang yang ada di situ atau menjadi saksi mata. Sekarang, satu orang membully itu seluruh followers yang korban itu tahu. Artinya dampaknya sedemikian lebih besar dibandingkan perundungan secara langsung.
Indonesia menjadi negara dengan kasus cyberbullying terbesar nomor 1 di dunia. Berdasarkan penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyatakan bahwa 49% dari 5.900 responden mengalami pembullyan di internet. selebihnya 47,2 % belum pernah di-bully dan 3,8% tidak menjawab.
“Saya seringkali berusaha tidak percaya bahwa Indonesia-nya begitu berbahayanya di digital secara global. Tetapi, ada beberapa bukti denga sejumlah predikat yang disematkan untuk warganet Indonesia. Alasan bercanda digunakan sebagai tameng, sejak dahulu pembullyan secara langsung pun akan selalu menggunakan alasan bercanda. Padahal canda yang baik tidak seperti itu,” ungkapnya.
Alasan lain karena pelampiasan, pelaku mungkin saja dahulunpernah menjadi korban. Mencari perhatian, mengisi waktu luang di ruang digital sampai ingin menunjukkan bahwa dia punya kekuatan.
Data dari Hootsuite juga menyebut, rata-rata orang berinternet 8 jam sehari dengan 3 jam diantaranya menggunakan media sosial. Hal ini kemudian mendukung pernyataan bahwa media perantara bully yang paling besar itu di media sosial dengan yang paling banyak dilakukan di Instagram dan di posisi kedua Facebook.
Hal penyebabnya karena banyak orang yang masih suka mengomentari tampilan fisik seseorang, tingkat kecerdasan, ras, gender, kondisi keuangan, agama dan lainnya. Harus dihindari untuk tidak berkomentar sembarang yang nanti berujung pada pembullyan.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Michael Sjukrie (Underwater Videographer), Littani Watimena (Brand & Communication Strategist), Ira Pelitawari (Pegiat Literasi), dan Ribka sebagai Key Opinion Leader.